Jangan lupa tinggalkan komentar jika ingin aku posting di Minggu nanti, hehehe. Selamat menikmati dan hatur nuhun.
Seringkali Lea merasa sedih dengan kondisi papanya. Pekerjaan papanya sebagai diplomat yang mengharuskannya berpindah-pindah tempat kerja. Dari suatu negara ke negara lain. Hal itu yang membuat Lea kehilangan kasih sayang keduanya.
Tapi kini, Lea bersyukur dengan pekerjaan papanya. Papa memiliki banyak kolega. Orang-orang yang anaknya sering dijodohkan dengan Lea. Tentu saja semuanya Lea tolak. Lea tidak akan menjadi istri Akbar jika menerima salah satu dari laki-laki pilihan papanya.
"Surat dari pengadilannya, sih, belum ada, Pah," ucap Lea. "Tapi, Lea yakin, mereka akan segera ke pengadilan."
"Keluarganya Almarhum Fadli WNI?" tanya papanya di seberang telepon.
"Sebentar, Pah," Lea menjauhkan ponsel di telinganya. "Kata papa, mereka WNI."
"Iya."
"WNI, Pah."
"Nanti papa kasih nomor telepon Om Hadi, Lea."
"Om Hadi yang ayahnya Rheinald itu, Pah?"
"Iya, ayahnya Rheinald."
Mendengar sosok laki-laki muda disebut Lea, membuat mata Akbar memincing. Akbar tahu betul pergaulan Lea dan teman-temannya. Istrinya bukan tipe orang yang pandai bergaul dan memiliki banyak teman. Pertemanan Lea hanya sebatas kantor saja. Sepulang kerja, perempuan itu selalu menceritakan aktivitasnya di kantor. Akbar hafal nama teman-teman istrinya meskipun mungkin tidak pernah melihatnya. Dan, Rheinald? Nama itu absen dari bibir istrinya.
"Rheinald belum nikah, ya, Pah?"
"Setahu papa belum. Lea, kamu udah punya Akbar."
"Ih, papa. Justru karena belum nikah, Lea malas kalau harus ketemu dia," dengusnya sedikit kesal.
Papa tertawa. Kepalanya dipenuhi momen yang bagi puteri tunggalnya menyebalkan. Itu juga ada andil dari dirinya. Biasa, orangtua yang rencana perjodohan membuat Lea jengkel setengah mati. Perempuan itu sempat marah dengannya meskipun tidak lama.
"'Papa jangan ketawa," kata Lea sedikit sebal.
Papa mencoba menghentikan tawanya. Ia bukan menertawakan puteri tunggalnya. Ia hanya menikmati momen ini. Jarang sekali terjadi. Menelepon dan mendengar suara Lea menjadi hal menyenangkan bagi dirinya. Lea ada nikmat besar Tuhan dalam kehidupannya.
"Iya, Sayang. Nanti, papa kasih tahu kasus kamu dulu ke Om Hadi."
"Papa jangan lupa kasih nomor Lea ke Om Hadi. Takutnya pas Lea telepon enggak diangkat karena enggak dikenal."
"Iya, Sayang."
"Ya, udah. Makasih, Pah. Lea tutup, ya."
Klik. Telepon terputus. Semoga Om Hadi bisa membantunya. Kerabat papanya itu adalah pengacara bertangan dingin. Pengacara terkenal yang sering menangani kasus artis dan pejabat. Hartanya jangan ditanya. Lea pernah melihat beritanya di akun gosip. Mobil mewahnya berjejer rapih laksana showroom di garasi rumahnya. Istrinya? Jangan ditanya juga. Di setiap negara ada. Ih, laki-laki, harta, dan wanita. Perpaduan yang pas. Lea melirik Akbar. Suaminya juga miliarder. Jangan sampai laki-laki punya istri selain dirinya.
"Lea," suara suami dan tepukan di lengannya menghentikan pikiran Lea yang ke mana-mana.
"Papa mau bicarakan kasus ini ke Om Hadi dulu."
"Dan, Rheinald?"
Oh, Lea tahu momen ini akan tiba. Akbar dan rasa penasarannya dengan nama laki-laki yang disebutnya. Lucu juga melihat Akbar seperti ini. Laki-laki itu hampir tidak pernah cemburu. Suami menaruh kepercayaan yang besar padanya.
Lea tidak langsung menjawab. Ia menarik tangan suaminya untuk kembali ke ranjang mereka. Tadi, mereka berdiri di atas balkon yang menghadap jalanan kompleks. Ia duduk sambil meluruskan kakinya.
"Waktu itu, papa kayak biasa mengenalkan aku ke anak koleganya. Salah satunya anak Om Hadi, Rheinald ini. Papa kirim fotonya. Aku mau ketemu karena wajahnya ganteng."
"Kamu bilang enggak akan mau nikah," potong Akbar. Laki-laki dan harga dirinya yang setinggi langit membuat Akbar terusik.
"Dengarkan dulu," omelnya. "Aku ketemu dan kamu tahu enggak, Bar. Omongannya dia, tuh, bikin aku illfeel. Dia ceritakan semua mobil-mobilnya, rumah, apartemen, yang aku tahu itu semua punya bapaknya."
Akbar berusaha menahan senyum. Cara Lea menceritakan sungguh lucu. Perempuan itu menggebu-gebu dalam cerita. Mimik wajah yang natural namun terkesam begitu mendalami perannya. Sosok Lea seperti terbawa pada kejadian perempuan itu bertemu dengan Rheinald.
"Kamu tahu dari mana itu semua punya ayahnya?"
"Dari Lambe Turah."
Kening Akbar mengerut. "Lambe apa?"
"Lambe Turah. Akun gossip paling tersohor di Instagram. Dia, tuh, paling update kalau ngeposting gosip."
Ya Tuhan. Akbar tidak mengerti dengan isi kepala Lea. Harusnya ia menghapus akun istrinya. Oh, bukan. Ia harus menghapus akun fake Instagram istrinya. Akbar yakin, di akun inilah, Lea sering menggunakan akun fake-nya untuk memberikan komentar nyinyir. Demi Tuhan, Lea memiliki kehidupan yang harusnya dinikmati. Bukan mengurusi urusan orang lain.
"Eh, tapi, kamu pernah masuk berita di sana, lho Bar. Pas kita nikah."
"Lea, kita enggak undang wartawan, Lea."
"Iya, tapi salah satu undangan kita pasti kasih info ke adminnya. Beritanya, Pemilik aplikasi Jodho sudah menemukan jodohnya. Perempuan-perempuan patah hati. Mereka enggak tahu saja siapa Lea," katanya percaya diri. Tangannya mengibaskan rambut panjangnya.
Akbar tidak mengerti dengan pemikiran Lea. Awalnya mereka membicarakan pengacara yang disarankan mertuanya. Beralih ke laki-laki bernama Rhenald. Kemudian, ke akun gosip lalu dirinya yang masuk berita gosip. Lea kalau sudah cerita seperti air. Akan terus mengalir ke manapun yang ada celahnya-sekecil apapun itu.
"Bar," kata Lea. Tangan perempuan itu sudah terulur ke leher suaminya. "Aku senang kok dapat jodoh kamu," katanya manja.
Pertahanan diri Akbar runtuh seketika. Ia langsung memajukan kepalanya dan mencium istrinya. Bibir Lea lembut. Bagi Akbar seperti kue yang sering dibuat ibunya. Lembut dan manis. Akbar selalu betah dan ketagihan untuk mencicipnya. Dan, Lea selalu tahu bagaimana membalas ciumannya dengan intens dan menggoda.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu kamar menghentikan kegiatan mereka. Lea langsung menjauhkan kepalanya. Wajahnya memerah. Napasnya tersengal. Akbar is a good kisser. Selalu mampu membuat Lea terhanyut hanya dengan ciumannya saja. Dan, seseorang di belakang pintu sudah membuatnya tersadar dari sihir ciuman suaminya.
Akbar bergerak dari ranjangnya. Ia melangkah untuk membuat pintu. Ketika pintu terbuka, kedua sosok yang amat dicintainya berdiri di hadapannya. Aidan berdiri sambil memegang tangan adiknya. Di sampingnya, Akbar melihat mata Marsha basah. Anak itu menangis?
"Pak, dedek tadi nangis. Mau bobo di sini sama ibu," adu Aidan. "Aidan juga tidur di sini, ya, Pak, bareng ibu."
"Bobo ma bu," cicit Marsha.
"Sini, bobo bareng ibu," suara Lea yang menjawab.
Aidan langsung membawa adiknya mendekati Lea. Kedua anak itu selalu bahagia bersama ibu baru mereka. Bahkan, Marsha langsung menenggelamkan kepalanya di dada Lea. Akbar yang melihat itu langsung meringis. Harusnya ia di posisi itu. Tapi, melihat senyum yang terukir dari ketiganya membuatnya tersenyum juga.
"Bapak, ayo tidur," kata Lea. Matanya melirik sisi samping Aidan yang masih kosong.
Oh, Akbar tersentak. Ia langsung menutup dan mengunci pintu kamar. Tubuhnya segera ia baringkan di samping Aidan. Kedua manusia dewasa itu mengapit anak mereka di tengahnya. Akbar berjanji. Ia akan terus berjuang membuat semua ini terasa lama. Sangat lama hingga tubuhnya renta.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
General FictionAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...