Seperti Orangtuamu, Akbar

7.1K 818 29
                                    

Hallo, ini sengaja saya publish ulang. Kemarin, saya upload di ponsel sehingga ada beberapa yang tidak bisa diperbaiki-seperti penggunakan kalimat berhuruf miring. Masalah kecil but it's important. Selamat menikmati. Jangan lupa berikan bintang dan komentar. Hatur nuhun.




Lea tidak bisa mengubah kebiasaan baiknya di New York dan membawanya ke Jakarta. Bangun pagi-lebih dulu dari Akbar-itu masih sulit dilakukan di kota ini. Nyatanya, ia sekarang baru terbangun. Memang matahari belum menunjukkan eksistensinya pada dunia, tapi tubuh Akbar sudah tidak ada di samping Lea.

Laki-laki itu pasti mengajak Aidan salat subuh di masjid dekat rumah. Aidan seolah terbalik dengan dirinya. Di New York, anak itu bangun agak siang. Di sini, bahkan Lea bisa mendengar suara Aidan sedang mengobrol dengan suaminya.

Lea mencepol asal rambur panjangnya. Ia berjalan keluar kamarnya. Matanya menangkap Aidan sedang duduk di sofa di ruang televisi. Tayangan kartun favoritnya. Sejak kapan Aidan menonton televisi di hari sekolahnya? Akbar sangat tegas dalam hal kedisiplinan. Hanya weekend untuk menonton kartun.

"Aidan enggak mau sekolah, Om," kata Aidan.

"Aa harus sekolah. Kan, kemarin udah liburannya."

Tapi, Aidan malah memberenggut. Tubuhnya sengaja disandarkan di sofa dengan kakinya terulur ke depan. Laki-laki berusia hampir tujuh tahun itu sengaja menurunkan tubuhnya. Matanya menunduk. Tidak menangis. Hanya terlihat jelas jika ia tidak suka dengan paksaan yang dilakukan.

"Aidan," sapa Lea.

Aidan menoleh mendengar namanya disebut. Raut wajahnya berubah. Bibi itu terbuka-menyunggingkan senyum. Aidan hendak bangkit tapi Lea keburu menghampiri anak itu.

Ia langsung menubrukkan tubuhnya ke dalam pelukan tante cantik favoritnya. Tante Lea yang selalu membuat Aidan betah berlam-lama dengannya.

Sebelah tangan Lea mengelus rambut hitam Aidan. Ia tersenyum yang bertambah lebar melihat wajah ditekuk suaminya di hadapannya. Oh, jangan bilang Akbar cemburu? Dengan anak berusia belum genap tujuh tahun.

Lea memberikan kode agar Akbar mendekat padanya. Suaminya menurut meskipun dengan wajah penuh tanya. Bibir Lea juga ikut mendekat meski kesulitan karena Aidan memeluknya. Ia berikan kecupan singkat. Itu cukup memperbaiki mood suaminya.

"Aidan enggak mau sekolah, Tante," suara Aidan menginterupsi kegiatan mesum pasangan itu.

Lea melepas pelukannya. Ia menatap wajah keponakan gantengnya yang kusut. Wajahnya sangat tidak bersahabat.

"Emang Aidan enggak kangen sama teman-teman? Enggak kangen main bola sama Kenzi?" tanyanya.

"Kangen tapi," putusnya.

"Tapi apa, Aa?"

"Tapi Miss Heny suruh Aidan ceritain liburan sama papa dan mama. Aidan enggak bisa. Kan, kata Om Akbar, mama dan papa udah tinggal di surga."

Runtuhlah pertahan diri Lea. Perempuan itu membawa Aidan ke dalam pelukannya. Setetes air mata jatuh dari kedua bola cantiknya. Aidan dan kehampaan hidupnya. Kerinduan yang memberenggut semangat dan kecintaannya pada sekolah. Lea paham benar itu.

Tidak ada orangtua yang dijadikan cerita dalam aktivitas sehari-hari. Tidak ada papa dan mama yang akan menjadi tokoh utama dalam kisahnya. Dan, tidak ada kisah yang akan dibagi pada teman-temannya di sekolah.

Lea melepas pelukannya. Tangannya memegang bahu Aidan. Ditatapnya wajah polos itu. I'll do anything to see his smile. Karena Lea tahu, mengembalikan senyum anak-anak itu tidak mudah. Ada perasaan takut dalam dirinya. Aidan tidak boleh sepertinya. Aidan harus tersenyum. Aidan harus bahagia dengan keberadaan dirinya dan Akbar. Setidaknya, Aidan tahu kalau ada orang lain yang menginginkan menjadi orangtuanya. Ada dirinya dan Akbar yang akan terus membuatnya merasakan kasih sayang.

Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang