Terima kasih yang masih mau nunggu cerita Akbar dan Lea. Terima kasih juga untuk bintang-bintang yang bertebaran dan komen kalian (apalagi yang setiap part kasih vote dan komen). Jangan lupa untuk tetap kasih bintang dan berkomentar, ya. Itu bensin bagi semangatku.
Selamat menikmati dan hatur nuhun.
Pipi Lea memerah ketika Akbar memberikan kecupan singkat di bibirnya saat mereka masuk ke mobil. Di pagi buta, Lea sudah menyetir mobil untuk menjemput Akbar. Ini sesuai dengan janjinya kemarin. Lebih dari itu, ada perasaan yang tidak bisa Lea ucapkan saat melihat sosok nyata Akbar yang berdiri di hadapannya.
Selama lebih dari tiga puluh tahun hidupnya, Lea tidak memiliki ketertarikan besar pada lawan jenis. Ia sering mengagumi teman laki-lakinya yang memiliki hal yang tidak dimilikinya. Ia kagum pada teman yang pintar menggambar, pintar olahraga futsal dan voli, pintar matematika. Hanya sebatas itu. Ketika Lea menyadari ada rasa lain selain kekaguman, ia buru-buru membuangnya jauh-jauh. Rasa itu tidak akan pernah tumbuh subur dalam hati Lea.
Sedangkan Akbar? Tidak tidak tahu bagaimana mendefinisikan perasaannya pada Akbar. Jatuh cinta? Terlalu dini untuk mengatakan hal itu. Mungkin hanya perasaan saling terbiasa. Ya, Lea terbiasa melihat Akbar setiap harinya. Kini, seminggu tanpa melihat langsung laki-laki itu, membuat hidup Lea terasa aneh.
Jadi, di sinilah Lea berada. Matanya memperhatikan sosok laki-laki di hadapannya. Akbar yang menggunakan kaus oblong biru dongker yang dipadukan dengan celana panjang hitam. Laki-laki itu menggunakan jam tangan yang dibelikan Lea saat ia ulang tahun. Itu barang paling mewah yang melekat dalam tubuh Akbar.
Laki-laki yang sama seperti seminggu lalu saat terakhir kali Lea melihatnya. Mata, hidung, rahang. Hanya dagunya yang sedikit ditumbuhi jenggot. Akbar sepertinya lupa membawa alat cukur. Pikiran Lea langsung berkelana entah ke mana? Pasti mengasyikan berciuman dengan bulu-bulu di dagu Akbar yang menggelitik. Oh, astaga. Lea sudah gila bila memikirkan hal itu.
Akbar lelah. Penerbangan pagi membuat ia harus mengurangi jatah tidur malamnya. Tapi, membiarkan Lea menyetir juga buka pilihan baik. Rencana Akbar sepertinya harus diubah sedikit. Ia mengemudikan mobil dengan pikiran tertuju pada pelataran jalan di daerah Semanggi.
"Akbar, kita mau ke mana?" Lea berkata panik ketika Akbar justru keluar di Tol Semanggi. Harusnya mobil mereka masih di tol. Pintu keluar tol arah Kemang masih diujung jalan.
Laki-laki di sebelahnya tidak menjawab. Akbar masih santai mengemudi mobil Avanza-nya. Ia malah membuat setir ke arah kiri dan masuk ke pelataran sebuah hotel di kawasan Kuningan.
"Ngapain kita ke Kartika Chandra, Bar?" tanya Lea lagi.
"Kamu bawa kondom?"
Lea mengernyit bingung. Untuk apa membawa kondom saat menjemput Akbar. "Enggaklah. Ngapain bawa barang begituan."
"Mau hamil?"
"Hah?"
"Pregnant."
"Apaan sih, Bar?"
Pertanyaan Lea tidak di jawab. Setelah memarkirkan mobilnya, Akbar justru membawa Lea memasuki resepsionis hotel itu.
Perempuan itu memperhatikan interaksi Akbar dan pegawai hotel itu. Bagaimana Akbar memesan kamar hotel. Ia memilih kamar mandi yang ada bathtub. Akbar mengeluarkan debit card yang diganti pegawai itu dengan keycard kamar hotel mereka.
"Aku akan coba tapi enggak janji bisa." Kata Akbar. Tangan laki-laki itu mengarahkan kartu ke sensor di lift. Muncul angka 7 di atas pintu lift.
"Coba apaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
General FictionAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...