Dulu, Lea sering menghabiskan malam minggu di kamarnya. Tidak ada ritual khusus yang dijalaninya. Ia hanya akan diam sambil menonton film secara maraton hingga pagi. Bila bosan, ia akan pergi ke Bandung. Papanya memiliki rumah di Lembang. Lea suka menikmati sejuknya udara Lembang.
Bila habis gajian, Lea akan ke klub bersama Farel. Hanya Farel yang setia menemaninya hingga ke klub. Anna sudah menikah ketika Lea pertama kali bekerja di perusahaan farmasi sebagai akuntan. Menurut Anna, ia sudah insyaf clubbing ketika menikah. Maka, jangan heran jika Farel begitu senang Lea masuk ke perusahaan itu.
Setelah menikah, banyak perubahan besar yang ada dalam hidup Lea. Pertama tentu saja berhentikan rengekan mama dan papanya yang selalu menjodohkan Lea. Kedua, gaji Lea utuh. Akbar memberikan banyak uang bulanan untuknya. Nominalnya sama dengan gajinya selama lima bulan. Dan, Akbar membebaskan Lea untuk membeli apapun dengan uang itu.
Akbar mendapatkan uang dari aplikasi pencarian jodoh yang dibuatnya lima tahun lalu. Jodoh? Adalah nama aplikasi buatan Akbar. Lucu mengingat Akbar adalah pembuat aplikasi pencarian jodoh sedangkan laki-laki itu kesulitan mendapatkan istri. Itu yang membuatnya sering diolok-olok rekannya.
Dari fitur gratis, Akbar mendapatkan penghasilan lewat iklan yang ditayangkan. Akbar memiliki karyawan yang mengatur kerja sama dengan perusahaan advertising. Fitur lain adalah premium bagi yang ingin membayar mingguan hingga bulanan. Akbar bilang fitur premium lebih sering digunakan bagi mereka yang serius untuk menikah, bukar sekadar mencari teman mengobrol. Fitur itu, pendaftar bisa menyeleksi calon dengan lebih spesifik dan tidak perlu ada iklan. Sementara fitur gratis lebih banyak digunakan remaja yang sekadar mengisi waktu luangnya.
Gila, kan? Lea setiap pagi hingga sore, Senin hingga Jumat berjibaku bekerja di kantor. Gajinya tidak ada apa-apanya dengan Akbar yang lebih sering berdiam diri di rumah. Kantor laki-laki itu adalah sebuah ruko yang disewanya. Karyawannya tidak banyak karena lebih banyak bekerja di depan computer dan di manapun. Mereka bebas bekerja di rumah. Selebihnya di kantor untuk mengurusi iklan dan sebagai customer service.
Anehnya, Akbar tidak memiliki satu pun kartu kredit. Laki-laki itu malas berhutang. Ia lebih suka membawa dan membayar dengan tunai atau lewat kartu debitnya. Ironi memang. Lea yang gajinya belum sampai 2 digit dengan gayanya memiliki tiga credit card. Ketika tahu itu, Lea malu bukan main pada Akbar.
Ketiga, tentu saja masalah kamar mereka. Lea tidak memiliki perbandingan dengan laki-laki lain. Ia hanya tahu jika dirinya sangat puas setiap kali memadu kasih dengan Akbar. Lea ingat kejadian lucu di malam pengantin mereka. Akbar yang tidak memiliki pengalaman terlihat canggung dan malu melihat tubuh Lea yang hanya berbalut liginer berbahan transparan. Setelahnya, biar Lea sendiri yang merasakannya.
Sekarang, di malam minggu ini, ia menghabiskan waktu di ruang tengah di rumahnya bersama Akbar. Rumah besar yang Akbar beli di kawasan Kemang. Rumah Akbar yang membuat Lea memboyong Bu Siti, pengasuhnya sejak ia kecil.
Lea menunduk untuk menatap Akbar yang tertidur dengan pahanya sebagai bantal. Laki-laki yang mudah tidur, pelor. Laki-laki yang tidak suka begadang seperti dirinya. Laki-laki yang hobinya makan.
Akbar tertidur setelah mulutnya sibuk mengunyah bakwan jagung buatan Bu Siti. Dulu, karena mamanya sibuk menemani ayahnya yang bekerja sebagai diplomat, Lea sering menghabiskan waktu di rumah dengan Bu Siti. Kadang, tetangganya suka menggoda dengan menyebutnya anak Bu Siti. Lea tidak pernah marah. Perempuan itu lebih dekat dan memahami Lea dibanding dirinya sendiri.
Tangan Lea secara spontan melusuri wajah Akbar sedangkan matanya fokus menatap aksi Winchester bersaudar dalam serial televisi Amerika itu. Itu acara favoritnya sejak kuliah. Fokus Lea terhenti ketika merasakan tangan Akbar menggenggam tangan mungilnya dan membawanya ke mulut laki-laki itu.
"Aku pikir kamu udah tidur," Lea berkata pelan.
"Aku tiba-tiba kepikiran Aidan dan Marsha."
"Kepikiran kenapa?"
Akbar diam. Ia sendiri tidak tahu mengapa malam ini begitu gelisah memikirkan dua keponakannya itu. Rasa-rasanya ia ingin membawa keduanya menginap di rumahnya. Tapi, ia tahu jika Lea tidak mengizinkan. Perempuan itu tidak menyukai anak-anak. Bagi Lea, anak-anak itu biang keributan dan kerusuhan hidupnya. Lea tidak akan mengizinkan kedua anak itu menginap tanpa orangtuanya. Akbar hafal sekali.
Sebelum memiliki rencana menikahi Lea, Akbar lebih banyak menghabiskan waktu di rumah orangtuanya. Rumah Aisyah tepat di samping rumahnya. Itu membuatnya memiliki banyak waktu untuk bermain dengan kedua keponakan kecilnya. Rutinitas yang Akbar hentikan setelah ia menikah.
Ia tidak menyesal. Itulah fase hidup yang harus dijalaninya. Akbar paham jika ia tidak bisa membawa Lea tinggal bersama orangtuanya. Ibunya melarang. Suami istri lebih baik tinggal pisah agar mandiri. Katanya, biar mengontrak yang penting pisah. Juga Lea pasti tidak nyaman bila terus dalam pengawasan ibunya.
Lea mencium bibir Akbar. Tindakan itu seketika mengalihkan pikirannya yang entah pergi ke mana. Oh, Akbar langsung mengambil alih ciuman itu. Ia langsung mencium bibir Lea dengan intens. Ciuman itu berubah menjadi lumatan-lumatan. Naluri Lea untuk membuka mulutnya langsung dimanfaatkan laki-laki itu untuk menjelajahi rongga mulut istrinya. Ketika tangan Akbar mulai masuk ke dalam baju istrinya, ponselnya berdering keras sekali. Akbar mengabaikannya. Ia terus mencari bukit kembar favoritnya.
Laki-laki dan naluri hasrat mereka akan mengalahkan logika. Lea tahu betul itu. Hidup bersama Akbar membuatnya belajar tentang hal itu.
"Akbar, angkat dulu teleponnya," suara Lea terdengar di tengah hasratnya yang menggelora.
Akbar tidak mengindahkan. Suara ciuman mereka, desakan tubuh Lea, hingga dering ponsel yang saling bersahut-sahutan. Itu bukan backsound yang baik untuk pergulatan mereka.
"Stop it, Akbar," desak Lea. Tangan perempuan itu menahan Akbar untuk kembali mencumbunya. "Angkat dulu."
Dengan setelah hati, Akbar meraih ponsel yang ia letakkan di meja di depan sofa yang mereka duduki. Ia merutuki si penelepon yang mengganggu aktivitasnya malam ini.
Setelah ini, habis kamu, Lea. Pikiran Akbar sambil menatap istrinya.
"Halo," sapanya.
Kalimat yang terdengar dari seberang telepon membuat lutut Akbar lemas seketika. Dadanya bergemuruh dengan kencang. Hasrat yang tadinya menggebu untuk meniduri Lea hilang begitu saja. Pikiran Akbar kini dipenuhi wajah-wajah keluarganya.
Melihat wajah suaminya yang berubah pucat membuat Lea bingung. Tanpa merapihkan pakaiannya yang berantakan akibat ulah Akbar, Lea mendekati laki-laki itu. Tangan Lea menyentuh lengan Akbar. "Kenapa, Bar?"
"Teteh Aisyah kecelakaan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
General FictionAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...