Lea menghela napasnya ketika melihat dua sosok laki-laki beda generasi sedang menghabiskan waktu di ruang tengah. Keduanya duduk di lantai dengan menghadap meja kopi. Di atas meja itu ada buku dan alat tulisnya: pensil, penghapus, dan penggaris kecil.
"Misalkan, Aa punya lima apel terus Tante Lea minta dua. Sisanya berapa?"
Lea mendengus. Momen seperti ini sudah sering dilihatnya. Kehadiran Aidan dan sikap gentle yang ditunjukkan Akbar pada anak laki-laki itu. Lea tidak pernah bangga dengan hal itu.
Aidan tampak diam. Laki-laki kecil itu mengangkat satu tangannya lebar hingga memperlihatkan kelima jarinya. Ia menekuk dua jari.
"Satu, dua, tiga," anak itu tersenyum. "Tinggal tiga, Om."
"Hebat," puji Akbar. "Sekarang tulis angka tiga di sini."
Aidan kembali terdiam sambil memegang pensil panjangnya. Kepalanya mencoba mengingat bagaimana bentuk angka tiga itu. Satu itu yang seperti tiang listrik. Dua seperti bebek. Tiga seperti ....
"Yang kayak burung terbang, ya, Om?"
"Betul sekali."
Anak itu tersenyum. Ia merasa bangga dengan tebakannya yang benar. Aidan menulis angka tiga di sebuah kolom kecil di bukunya.
Hati kecil Lea terusik melihat pemandangan itu. Bayangan orangtua mengajarinya belajar hanya ada dalam imajinasi Lea. Perempuan itu menganggap hal itu hanyalah mimpi di siang bolong. Ia tidak pernah merasakan hal itu.
Belajar hitung-hitungan ia lakukan bersama Bu Siti. Ketika mendekati akhir masa SD, papa menyewa seorang guru privat. Waktu Lea dihabiskan bersama perempuan muda. Cerita teman-temannya yang belajar bersama ayah, didongengi saat tidur hanya muncul dalam imajinasi Lea. Perempuan itu sesungguhnya menginginkan hal itu. Tapi, sedalam mimpi Lea belajar bersama papanya, sedalam juga impiannya harus terkubur.
Oke, Lea tidak ingin lama-lama melihat pemandangan itu. Perempuan itu berjalan dengan pelan. Ia tidak ingin kehadirannya diketahui Akbar. Itu akan membuat tubuhnya berjalan ke arah suaminya.
Lea menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. Ia membasuh kepalanya yang terasa kotor. Ia tadi berpergian ke pabrik pembuatan obat-obatan. Rutinitas yang selalu Lea lakukan di setiap bulan.
Ketika air shower mengguyur kepalanya, Lea merasa sedikit tenang. Rasanya semua kepusingan yang tadi menghinggapi pikirannya hanyut terbawa air.
Hampir setengah jam menghabiskan waktu di kamar mandi, Lea kembali ke kamar. Ia menggunakan baju tidur langsung yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya. Badannya lelah. Ia ingin tertidur. Suara di dalam perutnya membuat Lea menghentikan niat awalnya. Ia beranjak menuju dapur.
Lea berusaha berjalan sepelan mungkin agar tidak terlihat kedua laki-laki itu. Aidan dan Akbar masih sibuk belajar berhitung. Semua tokoh pengandaiannya menggunakan nama Lea.
Di kulkas masih ada beberapa apel. Perempuan itu mengambil sebuah apel untuk dijadikan makan malamnya. Sebenarnya, perempuan itu jarang makan malam. Ia menjaga betul bentuk tubuhnya agar tetap langsing. Lemak adalah musuh besar Lea.
"Tante Lea."
Suara kecil milik Aidan menghentikan kunyahan Lea. Perempuan itu menoleh dan melihat Aidan berjalan ke arahnya bersama Akbar. Sejak kapan? Tadi mereka masih asyik belajar.
Lea tidak menjawab. Ia membiarkan Aidan mengambil duduk di kursi makan di sampingnya. Mata Aidan menatap Lea lekat. Bocah laki-laki itu menatap lekat tante cantiknya.
"Tante Lea, Aidan tadi main bola." Anak itu terus saja berceloteh mengenai kegiatannya di sekolah. Ada rasa antusias dan kegembiraan dalam setiap kalimat yang keluar dari mulut anak laki-laki berusia enam tahun itu.
Di sampingnya, Akbar berbisik, "Aidan rela membagi apapun padamu, Sayang."
***
Akbar masih tidur di kamar ketika Lea membuka matanya. Laki-laki itu kembali meringkuk di tempat tidur setelah pulang dari masjid dekat rumah untuk rutinitas subuhnya. Dengan gerakan pelan, Lea beranjak dari tempat tidur. Dapur adalah tempat pertama yang akan disinggahi Lea.
Bukan pemandangan yang ingin Lea lihat ketika menikmati teh hijau hangat di waktu paginya. Dapur dengan pintu kaca besar yang terbuka dan terhubung dengan halaman belakang membuat mata perempuan itu bisa melihat dengan jelas sosok bayi berusia satu yang sedang digendong Bu Siti. Hati Lea berkata agar ia menjauh dari tempat ini. Rumah Akbar sangat luas. Masih banyak ruangan yang bisa Lea gunakan untuk menikmati pagi indahnya. Tapi, kakinya mendadak kaku untuk digerakkan. Kaki Lea terpaku untuk tetap tinggal di ruangan itu.
"Kereta jes... jes... jes...," suara Bu Siti terdengar di telinga Lea. "Kereta mau lewat, buka mulutnya, aaa...." Tangan Bu Siti memegang sebuah sendok yang berisi makanan bayi diarahkan ke mulut Marsha.
Bayi itu mengeluarkan suara-suara yang tidak jelas. Bergumam entah apa maksudnya. Tangan mungilnya ingin menggapai sendok plastik itu.
"Eh, itu apa? Burung. Wah, burungnya mau makanan Marsha. Ayo, makan lagi. Entar dimakan burung. Ngeng... ngeng... ngeng," suara Bu Siti kembali terdengar.
Tanpa disadari, Lea menyunggingkan senyumnya. Lea seperti terbawa pada momen masa kecilnya dulu. Bu Siti yang selalu memiliki trik jika Lea malas makan. Lea ingat, Bu Siti pernah juga mengandaikan jika burung senang dengan nasi miliknya. Jika jiwa egois dalam diri anak-anak Lea muncul, ia menghabiskan makannya hanya karena tidak ingin berbagi dengan hewan bersayap itu.
"Aduh."
Suara mengadu yang keluar dari mulut Bu Siti membuat Lea menghampiri perempuan itu. Mata istri Akbar itu menatap khawatir wajah Bu Siti yang meringis. Ada sesuatu yang salah dalam diri Bu Siti.
"Kenapa, Bu Siti?" tanya Lea.
"Tangan Bu Siti kayaknya kram, Non. Aduh, duh."
Marsha yang berada dalam gendongan Bu Siti melorot. Bayi itu bukannya menangis malah tertawa ketika tubuhnya merosot hingga ke paha Bu Siti. Dipikirkan kedua perempuan dewasa itu sedang mengajaknya bermain.
"Non Lea, bisa minta tolong pegang Marsha sebentar. Tangan Bu Siti enggak buat pegang tubuh Marsha."
Lea tidak langsung menjawab. Matanya memandang ke sosok bayi mungil di hadapannya. Ada rasa ragu dalam benak Lea. Bayi kecil yang terlihat ringkih. Sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan Lea.
"Non Lea," suara Bu Siti menyadarkan Lea.
Perempuan itu dengan gerakan pelan dan kaku mengambil Marsha dalam gendongan Bu Siti. Bayi itu terlihat tidak sabar untuk segera berpindah ke pelukan Lea. Sejak berada di pada Bu Siti, tangan Marsha terulur ke arah Lea.
"Eh," Lea tersentak ketika tangan mungil Marsha memegang wajah putih mulus Lea. Bayi itu menampilkan giginya yang belum sempurna.
"Ma, mam, ma, mam," celotehnya.
"Marsha mau apa, Dek?" tanya Bu Siti.
Marsha tidak menjawab. Tentu saja. Lidahnya belum luwes untuk mengucapkan jawaban atas pertanyaan Bu Siti. Sebagai gantinya, mulut Marsha mendekat ke wajah Lea. Bayi itu menciumi pipi Lea.
"Ma... ma... um... um...."
"Bu Siti," panggil Lea.
"Non, Bu Siti mau ambil salep dulu buat obatin kram." Bu Siti langsung pergi meninggalkan Lea.
Sejak kapan kram bisa diobati dengan salep?
Lea tidak dapat berpikir jauh karena celotehan Marsha. Ditatapnya wajah bayi itu. Mata Marsha juga menatapnya. Bayi itu mengerjap dengan lucu sebelum kembali berceloteh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
Fiction généraleAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...