Romantic Dinner?

7.3K 794 17
                                    



Halo, semua. Kalian pasti sudah mendengar mengenai virus korena, tentu aja. Terakhir, aku baca berita, pasien positif sudah menginjak angka 300, di mana 200 lebihnya ada di Jakarta-the place where I'm living.  Aku cuma bisa berdoa semoga segera ditemukan vaksin atau apapun yang bisa meredakan keganasan virus ini. Stay home, ya. Aku juga sejak Rabu kemarin, sudah stay di rumah hingga dua minggu ke depan. Pekerjaan dilakukan via online. Untuk kalian yang tetap harus pergi ke luar rumah, tetap jaga kesehatan. Insya Allah, kita bisa mengatasi ini semua.

Terakhir, semoga cerita ini bisa sedikit menghibur kalian. Aku berharap, ada sedikit hiburan di tengah hidup kita yang di rumah ini. Selamat menikmati ceritaku.






"Iya Bu Siti. Istrinya biasa ngurus anak kecil. Dia kerja di daycare, kok."

Akbar menutup telepon dengan Bu Siti. Ada rasa kebahagiaan yang hinggap di hati Akbar. Tentang bagaimana perempuan pengasuh Lea itu sangat mendukung rencananya untuk mempersatukan Lea dan kedua keponakannya.

Bu Siti menolak diajak ke Amerika. Alasannya, jika ia ikut, Lea akan bergantung padanya dalam mengurus Aidan dan Marsha. Bu Siti ingin Lea menjadi ibu sepenuhnya bagi kedua anak itu. Dan, itu terbukti.

Akbar melihat bagaimana dengan mudahnya Lea menemani Aidan seperti permintaan anak itu. Bahkan, tanpa terasa canggung, Lea dengan mudahnya menggendong Marsha dengan sebelah tangannya. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menggandeng Aidan. Sementara Akbar mengambil kesempatan dengan terus merangkul pinggang perempuan cantik itu.

Kini, ia akan mengajak Lea jalan berdua. Iya, hanya berdua tanpa Aidan dan Marsha. Tidak jauh, kok. Hanya dua puluh menit jalan dari hotel tempat mereka menginap. Jalan-jalan untuk sekadar membahagiakan Lea. Akbar berharap jika Lea bahagia. Dan, makan malam berdua dengan perempuan cantik itu.

Menjelang akhir tahun pertama pernikahan mereka, perasaan itu semakin kuat bersemayam di hati Akbar. Tentang bagaimana dahsyatnya rasa cinta itu kepada Lea. Perempuan itu kini menjadi prioritas Akbar. Ia terus mengingatnya. Wajah Lea menampatkan posisi paling tinggi-bersanding dengan ibunya.

Sore begitu nyaman untuk dinikmati. Matahari seperti enggan kembali ke peraduannya. Jam sudah melewati angka enam, tapi matahari masih menunjukkan sinarnya yang cantik. Di samping Akbar, rambut Lea yang tergerak tertiup angin sepoi-sepoi.

Akbar berjalan beriringan dengan istrinya. Tangannya tidak pernah lepas menggenggam kulit putih Lea. Mereka terus melangkah di pedestrian jalan Kota New York. Di samping, roda mobil berputar menembus jalan kota. Kaca-kaca mobil tertutup.

New York yang tak pernah tidur. Akbar masih mengingat setiap harinya di masa kuliahnya belasan tahun lalu. Tugas, laptop, dan penelitian-penelitian yang ia lakukan setiap harinya. Pesta yang sering ia lewatkan. Ia tidak suka pesta. Lebih suka bergumul dengan buku-buku di perpustakaan.

Dalam pikirannya, ia masih mengingat air mata yang terus keluar dari kedua mata kakak perempuannya-Aisyah. Perempuan itu enggan melepaskan adik satu-satunya. Aisyah begitu khawatir dengan Akbar yang akan tinggal jauh darinya. Mengetahui perbedaan waktu saja sudah membuat hati Aisyah bergidik ngeri. Dua belas jam-separuh permukaan dunia. Jarak yang begitu jauh.

Ah, Akbar menjadi sedih mengingat hal itu. Kakak yang dulu menemani, membimbing, dan mencintainya kini telah tiada. Akbar hanya berharap, kelak, ia akan kembali dipersatukan lagi dengan kakaknya di surga Tuhan.

"Tadi Aidan kaget ngeliat ada orang Malaysia."

Suara Lea menginterupsi pikiran Akbar yang berkelana. Ia menoleh. Matanya memperhatikan Lea. Tangan perempuan itu melingkar di tangannya. Itu membuat Akbar tersenyum senang.

Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang