Isi Kepala Akbar

7.9K 776 23
                                    


Central Park masih tetap menarik untuk dikunjungi. Lea dengan ingatannya yang memudar, tahu tempat ini ketika ia berkunjung bersama papa dan mamanya sewaktu SD. Liburan sekolah, mereka mengajak Lea mengunjungi New York-tempat papanya ditugaskan. Lea menikmati betul liburan sekolahnya kala itu. Bersama papa dan mama, ia berlarian menikmati rindangnya pepohonan kawasan itu.

New York sedang menghadapi musim panas di Juli ini. Cuaca yang sebenarnya tetap masih lebih panas Jakarta. Dengan kondisi sekitar 25 derajat celcius, banyak wisatawan menikmati hangatnya matahari. Mereka sadar, tiga bulan mendatang, cuaca akan menurun hingga membuat enggan ke luar rumah.

Mereka duduk di sebuah bench di dalam taman itu. Di hadapan mereka membentang rumput hijau. Lea melihat Akbar dan Aidan sedang berlarian sambil menendang kecil bola yang mereka beli tadi di toko. Ah, anak itu terlihat gembira sekali menggerakkan badannya.

"He loves you, Lea."

Lea menoleh. Matanya memandang laki-laki berkulih putih yang duduk di sampingnya. Sean yang baru dikenalnya kemarin saat mereka tiba di kota ini. Laki-laki itu teman Akbar saat mereka mengenyam pendidikan di Columbia University. Keningnya agak lebar-khas orang-orang yang sering berpikir.

Seperti Akbar, Sean juga memiliki tatapan tajam. Mata itu seperti halnya milik Akbar mungkin sering digunakan untuk mengamati komputer dan bahasa pemprograman. Orang-orang jenis ini yang memudahkan setiap kehidupan yang dijalani Lea.

Tidak seperti Akbar yang memilih merintis usahanya sendiri. Sean memiliki bekerja di Google. Di perusahaan raksasa itu, Sean bekerja sebagai kepala teknisi. Ia mengurusi segala risiko kerusakan dalam aplikasi yang banyak digunakan manusia. Gajinya pasti besar. Tapi, menurut Akbar, kecerdasan Sean justru terletak pada insting bisnisnya. Laki-laki itu sering bermain saham di Wallstreet. Pernah merugi, tapi lebih banyak meraup keuntungan.

Orang pintar yang selalu diikuti uang. Begitu pemikiran Lea mengenai kedua laki-laki cerdas itu. Gurunya benar. Pendidikan adalah daya tarik uang. Tidak pernah berbohong. Selama cerdas, akan dengan mudah mencari uang.

"He always loves you." Sean mengucapkan lagi dengan penekanan. Ia berpikir jika perempuan cantik yang duduk di sampingnya tidak mendengar ucapannya yang pertama.

Lea mendengar. Ia hanya mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari bibir laki-laki itu. Kepalanya dipenuhi jutaan kata "love". Tentang perasaan Akbar padanya. Juga tentang kehadiran orang lain yang mengetahui perasaan Akbar.

"I know," hanya itu yang mampu diucapkan Lea.

"Three years ago, he told me. He met a girl who make his heart beats fast."

Lea tertawa. Ia tidak bisa menahan lagi tawa yang keluar dari bibirnya. Kalimat yang diucapkan Sean sungguh tidak masuk akal baginya. Akbar dengan segala logika dan sedikit bicara mampu mengucapkan kalimat rayuan konyol itu. Akbar mengatakan pada Sean jika ia bertemu perempuan yang membuat jantungnya berdetak cepat. Sangat bukan Akbar sekali.

"You lie, Sean. He's a realistic man." Lea menyangkal. Baginya, itu seperti kebohongan Sean. Akbar adalah manusia penuh logika. Ia akan mengandalkan akalnya untuk mengatakan sesuatu.

"I know him better than you. I met him before you-for 13 years." Ia tidak mau kalah dengan Lea. Ia lebih tahu Akbar dibanding Lea. Tiga belas tahun lalu. Jauh sebelum Lea bertemu Akbar. "It's a secret, Lea." Sean sedikit berbisik. Kepalanya sedikit mengarah ke telinga Lea. Mata laki-laki itu memandang Akbar dan Lea bergantian. Katanya, "He asked me, how to get girl's attention."

Semakin terasa konyol di telinga Lea. Bertanya tentang cara mendapatkan perhatian seorang gadis? Oh, mungkin saja. Akbar tidak ahli dalam hal merayu perempuan. Hidupnya sangat lurus.

"Really?" tanya Lea tidak percaya.

"Of course. I said, give her the flowers, concert tickets, and ask her to the beautiful places." Sean adalah laki-laki romatis. Ia sering melakukan banyak hal indah bersama istrinya. Memberikan bunga, tiket konser dan mengajak ke tampat menakjubkan adalah caranya untuk menarik hati istrinya. Ia memberikan tips itu pada Akbar.

"He never do it."

"Yeah, because he's a realistic man."

Lea mengangguk. Ia baru setuju hal itu. Akbar tidak pernah melakukan hal romantis padanya. Segala hal yang ditontonnya di flm-film percintaan adalah omong kosong. Semuanya hanya terjadi di dalam kepala Lea.

Tapi, Akbar melakukan lebih dari itu.

Akbar yang tidak pernah memaksanya memasak. Akbar yang mau menjemputnya meskipun ia harus bertikai dengan kemacetan jalan di Jakarta. Akbar yang memijat punggung dan bahunya ketika Lea sibuk dengan laporan keuangan bulanan. Akbar yang memberikan susu cokelat di tengah hujan deras yang mengguyur rumahnya.

Dan, Akbar yang selalu mencintainya.

Hanya kenyamanan yang Lea rasakan bersama Akbar. Mungkin, ia baru menyadarinya. Bagaimana keberadaan Akbar telah menjadi candu dalam hidup Lea. Sekarang, Lea tidak pernah tahu bagaimana hancur hidupnya bila Akbar menghilang.

"At first, I didn't like him. He seemed unfriendly. But, he helped me when I lost my book. He gave me his books. He taught me anything that I didn't understand. He's a good man, Lea. Now, I'm happy because he got the girl  that he loved."

Lea tahu itu. Akbar adalah laki-laki baik dan lurus yang dikenalnya. Akbar yang senang menolong siapa saja. Hanya perbuatan refleks karena kelembutan hati laki-laki itu.

Lea ingin membuat Akbar bahagia.

"He wants to grow old with you," kata Sean.

"Me too, Sean," balas Lea. Ia ingin menua bersama Akbar.

Sean tersenyum. Ia bisa memastikan jika Akbar akan terus tersenyum bahagia jika mendengarnya. Akhirnya, cinta laki-laki itu terbalas. Sean percaya, itu semua karena perjuangan Akbar yang tidak pernah menyerah untuk menaklukkan tembok besar di hati Lea.

"Do you have a plan for tomorrow?" Sean mengalihkan pembicaraan.

Lea menggeleng. Rencana bagaimana? Ia saja baru tahu akan ke Amerika. Rencana Lea untuk mencari tahu tempat wisata di pesawat batal. Ia tidak jadi membeli paket internat dan menghabiskan waktunya menenangkan Marsha yang rewel. Balita itu terus menangis dan tidak betah. Lea terus menepuk-nepuk bokong anak itu hingga akhirnya Marsha tenang.

"Can you give us recommendation places?"

"Of course. I know everything about New York. I was born and grew up in here. And, I'm living here."

Oh, Lea merasakan tingkat percaya diri yang tinggi.

Sean terlihat sedang berpikir. Tapi, laki-laki itu tersenyum sambil menggeleng. Oh, ia lupa dengan hal itu.

"I think, I can't tell you. He has a romantic dinner with you this evening."

***

Jika Rasa Menyambut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang