Hallo, readers, thanks for follow my story. Pertama, terima kasih untuk kalian yang sering memberikan votes dan komentar di setiap bagian. Loyalitas dan apresiasi kalian make me happy. Kedua, terima kasih untuk kalian yang rajin memberikan votes tapi selalu bingung ingin berkomentar apa. Aku tahu posisi itu 😊. Terakhir, untuk kalian yang rajin mengikuti dan membaca cerita ini tapi enggan meninggalkan votes dan komen. Mungkin kalian terlalu malu untuk dilihat mengapresiasi karya orang. Atau, standar kalian terlalu tinggi. For the next time, wherever you're, whoever the writer, whatever the story, I hope you can leave stars dan comments.
Nantikan ceritaku berikutnya, ya😊. Hatur nuhun. Selamat menikmati.
Tidak ada yang bersuara malam itu. Keheningan kamar Akbar-yang terdengar hanya suara desahan angin malam. Lalu, suara televisi yang sekadar dinyalakan-tanpa suara. Sinar yang terpancar dari layar datar itu sedikit menambah terang suasana malam yang temaram.
Di ranjang, kedua manusia dewasa sedang duduk sambil meluruskan kaki jenjangnya. Punggung yang disandarkan pada kayu ujung ranjang. Menimpali dengan bantal agar terasa lebih empuk.
Lea terdiam. Tangannya memegang ponsel. Ia membuka galeri foto di ponsel berlogo buah itu. Ada gambar bangunan besar yang ada di layar ponsel Lea. Bangnuan bercat putih bersih. Ada tiga lantai di dalamnya. Bereksterior modern nan mewah. Tempat yang biasa Lea kunjungi bersama keluarga kecilnya ketika mereka menjelajah Bandung. Mereka yang akan sedikit melipir ke ujung Bandung-Lembang demi kesejukan udara.
"Bar," Lea berkata menghilangkan fokus suaminya.
Akbar berdeham tanpa menoleh. Matanya fokus membaca berkas yang diberikan Hadi. Harus ada strategi untuk memenangkan persidangan. Situasinya tidak semudah yang ia bayangkan. Memenangkan hak asuh Aidan dan Marsha bukan hal mudah. Setelah fakta baru terungkap, peluang dirinya tidak sebesar awal. Ia sudah mundur satu langkah di belakang keluarga Fadli.
Darah lebih kental daripada air. Pepatah lama yang kemarin diucapkan kakak Fadli di persidangan seakan menamparnya. Itu mengingatkan fakta menyakitkan. Akbar bukan siapa-siapa Aidan dan Marsha. Ia hanya orang lain yang mungkin secara kebetulan memiliki perasaan sayang pada kedua anak itu. Orang lain yan begitu ingin melihat keduanya bahagia dalam pengasuhannya.
Tapi, Akbar tidak akan menyerah. Ia akan terus berjuang. Apapun akan dilakukannya demi mempertahankan mereka. Permata hatinya.
"Vila papa di Lembang sudah atas nama aku sejak aku kuliah," katanya lagi. Kepala Lea disandarkan di ujung ranjang. Tangannya membuat pola abstrak di lengan suaminya. "Aku mau jual vila itu, Bar."
Gerakan tangan Akbar yang hendak membuka lembaran baru terhenti. Kepalanya menoleh. Ia mendapati wajah istrinya yang juga menatapnya. Matanya melihatnya ragu. Ya, ada keraguan yang Akbar baca dari balik bola mata indah itu.
"Mereka menginginkan 13 miliar, kan?"
Akbar tidak langsung menjawab. Tangannya merapihkan berkas-berkas itu sebelum ia taruh di meja nakas di sampingnya. Setelah itu, matanya menatap penuh lekat wajah istrinya. Lea yang cantik selalu mampu membuat hatinya tersenyum. Lea yang kini entah mengapa menjadi berlipat-lipat berharga bagi Akbar.
"Kita bisa jual rumah ini juga?" katanya lagi. "Kita beli rumah yang kecil aja. Kalau kurang, aku bakal jual sepatu sama tas-tasku, Bar."
Akbar tidak juga menjawab. Ia menarik tubuh istrinya dalam pelukannya. Mengelus pelan penuh sayang rambut panjang Lea. Mulutnya tidak berhenti mengecup puncak kepala Lea.
"Saham akan selalu naik, Lea. Sekarang 13 miliar, kalau pasar bagus, tahun depan bisa jadi 14 miliar. Terus seperti itu. Ini bukan hanya soal nominal 13 miliar, Lea."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Rasa Menyambut (Selesai)
General FictionAkbar mencintai istrinya, Lea. Sejak kali pertama bertemu, ia sudah menambatkan hati pada sosok cantik itu. Meski akhirnya berhasil menjadikan Lea istrinya setelah percobaan lamaran yang berkali-kali, ia tidak juga membuat perempuan itu jatuh cinta...