TIIITTTTT....
Decitan dari EkG membuat satu tetes air mata ku jatuh. Bunda langsung mendekapku. Dokter Varo keluar dengan sarung tangan berlumuran darah. Beliau menghela nafas. "Maaf.. Azmi sudah tidak bisa terselamatkan," aku terduduk. Bunda mengusap punggungku. "Ikhlasin Azmi, ya," Bunda tersenyum padaku.Aku mengangguk kecil. Tapi air mataku terus mengucur. "Yuk kita lihat jasadnya," aku menggeleng cepat. "Maryam gak bakal kuat," bunda mengerti keadaanku."Baiklah. Biar besok saja kamu lihatnya ya. Sebaiknya kita pulang dulu," ketika hendak pulang..
"Sebentar! Azmi meninggalkan ini," Dokter Varo memberikan sebuah surat padaku. "Hanya untukmu. Hanya dibaca olehmu," aku mengangguk.
✉️✉️✉️
Untuk Istriku Tercinta, Maryam Hanifah Abidah.
Aku tahu. Mungkin ketika kamu membacanya, air matamu bercucuran. Membasahi kertas ini. Maaf, aku belum bisa menemanimu hingga akhir hayat. Perjalanan hidupku sudah cukup sampai sini. Padahal aku ingin melihat anak kita. Azmi junior. Keren kan. Hehe. Jangan Kangen, ya. Cukup kangenmu dalam bentuk doa.
Tapi, aku ingin berpesan padamu. Kalau memang anak itu lahir atau tidak aku ingin kamu ke pesantren tempat mondokku dulu. Bisa, kan? Aku tahu kalau kamu tetap sendiri seperti ini. Kamu akan dipuruk kesedihan karena kematianku.
Dan di pesantrenku nanti. Temui abi, ya. Tunjukkan surat ini pada abi. Dan nanti kalau masa iddahmu sudah selesai menikahlah dengan adikku, Azmi Askandar. Ia masih lebih tua darimu, kok. Kira-kira 2 tahun dari usiamu sekarang. Sebelum kau pergi, dapatkanlah restu Bunda dulu, yah.
Salam Cinta,
Azmi Iskandar.
✉️✉️✉️
Aku menutup kertas itu. Aku mengusap air mataku dan mengusap perutku. Ya, kini aku sedang mengandung anak pertamaku. Usia kehamilanku kini 5 bulan. Perutku sudah agak membuncit sekarang. Ya, kelihatan lah. Tapi bila aku pergi dari rumah apakah bunda kasih izin?
🍉🍉🍉
5 hari setelah pemakaman Azmi...
Dengan takut-takut aku mengetuk pintu kerja bunda. "Assalamualaikum," suara ketikan terhenti. Terdengarlah suara sendal kayu beradu dengan lantai. Tak lama pintu terbuka. Ada bunda dengan senyuman manisnya. "Kenapa, Maryam? Ayo masuk,"
Kami berdua masuk ke ruang kerja bunda. Elegan. Menawan. Aku dipersilahkan bunda duduk di kursi kerjanya yang empuk dan nyaman. Aku beberapa kali menolak. Tapi bunda beralasan, "Seorang ibu hamil. Apalagi masih muda harus diberikan yang ekstra," aku hanya tersenyum simpul.
"Bun, Maryam izin mau ke Jawa Timur, Probolinggo,"
"Ngapain?"
"Ke pesantren Mas Azmi,"
"Sendiri?"
"Iya, bun. Memang siapa yang mau nemenin?"
"Kalau sendiri bunda gak izinin,"
"Kenapa?"Bunda menghela napas. "Kamu lagi hamil, Maryam. Bunda gak mau kehilangan anak bunda satu-satunya. Cuman kamu yang bunda punya, Maryam. Bunda gak mau nanti kamu hilang kaya Kak Maya,"
Aku ikut menghela napas. Aku memang bukan anak kandung bunda. Akan tetapi ketika aku hamil, bunda mendadak posesif. Kemana-mana harus dianterin gak boleh sendiri. Karena memang, aku satu-satunya yang dipunyain bunda. Bunda gak punya sanak saudara lagi selain aku. Tapi masalahnya ini wasiat mendiang suamiku untukku.
"Bun, Maryam mohon. Maryam janji bakal jaga diri disana," aku memelas. Bunda hendak keluar, tapiku cegat. "Bun, sekali ini biarin Maryam sendiri, ya?" dengan muka memelas akhirnya bunda mengangguk. Dengan cepat aku memeluk bunda. "Makasih, bun..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Mencari Nya (REVISI)
Spiritüel"Wasiatku untuk terakhir kali adalah pergi ke Pesantren tempatku dulu. Menikahlah dengan saudaraku, Azmi Askandar" Azmi Iskandar- "Aku seperti melihat engkau yang bangkit kembali," Maryam Hanifah Abidah- "Aku sama sekali tak tahu, Maryam. Ia datang...