Jam setengah lima pagi tyas terbangun dengan tubuh yang terasa kaku dan agak nyeri di perut bagian bawah. Pandangannya tertuju pada sepasang manusia yang masih tidur saling memunggungi di sofa, senyum jahil tercetak di bibir tyas yang pucat.
Bukk ..
Lemparannya tepat sasaran dan tyas bertepuk tangan melihat rama dan tari yang terlonjak bangkit dari tidurnya.
Tyas terkekeh mendapati wajah kedua sahabatnya yang kebingungan menatap sekotak tisu wajah yang tergeletak di sofa tepat di posisi mereka berbaring tadi.
Keduanya langsung menatap kearah tyas yang tengah menutup mulutnya menahan tawa.
"yas !!! rese lo." Ucap tari sengit
"bukan muhrim, gak boleh tidur berduaan gitu." Jawab tyas
Tari langsung salah tingkah dan beranjak menuju ranjang tyas, menaruh tisu ke atas meja lagi.
"bang ....." belum sempat tari melanjutkan kalimatnya rama lebih dulu menarik lengannya
"ayo shalat subuh dulu di mushala. Lo sendirian bentar gakpapa kan yas ?" tanya rama
"gakpapa, mmmm nitip sesuatu boleh ?"
"apa ?" jawab tari
"gue pengen brownis hehehe, siapa tau di depan ada yang jualan." Ucap tyas
"oke" jawab rama
••••••••||||•••••••••
Setelah kunjungan dokter jam delapan pagi, tyas sempat tertidur karena efek obat yang disuntikkan oleh perawat. Sekarang disampingnya ada ibuk yang tengah menyuapinya brownis dan tian yang bermain ponsel sambil rebahan di sofa. Ibuk dan tian datang tadi sekitar pukul tujuh pagi.
"kenapa ?" tanya ibuk kepada tyas karena sedari tadi pandangan putrinya itu fokus menatap seseorang yang tengah tidur di sofa dengan posisi lengan yang menutupi sebagian wajahnya.
"gakapapa." Jawab tyas sambil mengelus perutnya yang masih rata
"mbak, jangan bohong sama ibuk."
"mmmm mas tama kok disini ?"
"ohh, tadi jam 4 dia nyampai sini tp paginya pulang buat ngambil perlengkapan kamu."
"kan harusnya masih di solo sampai besok."
"udah dapet ijin katanya."
"huft.... aku ngerepotin mas tama ya buk?"
"maksutnya ?"
"aku ngebebanin mas tama." Ucap tyas dengan nafas tercekat
"hush gak boleh ngomong gitu."
"emang kenyataanya kayak gitu buk, aku cuman ngebebanin mas tama." Lirih tyas
"kenapa kamu bisa ngomong gitu ?"
"aku belum lulus kuliah, aku masih kayak bocah, bisanya cuman ngerepotin sama ngebebanin mas tama, seharusnya mas tama punya istri yang setara sama dia, sikapnya dewasa dan bisa ngimbangin mas tama, seharusnya mas tama gak milih tyas jadi istrinya buk." Tangis pilu tyas pun mulai terdengar
Tian yang mendengar penuturan adiknya barusan hanya bisa membuang nafas kasar seraya melirik kearah tama yang tidur di sofa. Dirinya kini bangkit untuk duduk tepat disebelah kaki tama.
"kita udah pernah ngobrolin hal ini loh mbak, kok sekarang pikiran mbak kayak gitu lagi ?" tanya ibuk
"tapi emang bener buk."
"kata siapa ?"
Tyas menunduk tidak berani menatap wajah ibuk.
"bilang sama ibuk, siapa yang ngomong kayak gitu ke kamu, kamu gak mungkin bahas hal itu lagi kalau bukan karna omongan orang lain."
Tyas hanya menggelengkan kepala.
"temen kamu yang ngomong kayak gitu ?" tanya ibuk sambil mengelus kepala tyas
"bukan." Jawab tyas lirih
"tetangga kita ?"
"bukan."
"ibuk kenal sama orang itu ?"
"enggak."
"tama kenal sama orang itu ?"
tyas tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya semakin menunduk dan menangis. Tanganya saling bertaut dan meremas bahkan dia mulai menggesek- gesekkan ujung kukunya.
Fokus tian teralihkan ketika mendengar suara gemerutuk gigi dari arah sampingnya. Dia melirik kearah tama dan benar, tangan tama terkepal, rahangnya mengeras namun matanya masih terpejam.
"dia udah bangun dan mendengar semuanya." Bathin tian.
Tian kemudian membenarkan posisi duduknya dan mengamati obrolan antara ibuknya dan juga adiknya.
"kalau mbak gak jawab, berarti bener ? yang ngomong hal itu ke kamu, orang yang tama kenal ?" tanya ibuk lagi, menggenggam tangan tyas
Tyas masih saja membisu namun air matanya sama sekali tidak berhenti mengalir.
"mbak, pernikahan itu antara dua orang, dan dua keluarga, orang luar gak bisa ikut campur, mbak pernah janji kan sama ibuk, mbak gak akan pernah lagi dengerin omongan gak bermutu dari orang lain, ingat mbak, setelah kamu setuju untuk nikah, ibuk pernah ngomong kalau setelah nikah mungkin bakalan banyak masalah yang akan timbul dan kebanyakan bakalan datang dari orang luar, orang yang ngomong negatif ke kamu biasanya orang yang gak suka sama apa yang kamu miliki, apa yang kamu dapat. Mbak paham kan hal itu ?" ibuk menarik nafas sesaat
Tyas hanya mengangguk.
"sekarang ibuk tanya sama kamu. Coba tatap ibuk." Ucap ibuk seraya menarik dagu tyas supaya mendongak menatapnya
"ibuk heran kenapa kamu masih suka buat ngedengerin omongan aneh2 dari orang lain, kenapa kamu masih mudah buat dipengaruhi sama omongan orang lain, janji kamu sama ibuk ternyata gak kamu tepatin." Tambah ibuk yang kemudian menatap tajam kearah tyas
"kamu ...... apa kamu menyesal menikah dengan nak tama ?" tanya ibu tegas
Deg ...
Ruangan seketika menjadi hening, bahkan tian saja tidak menduga ibunya menanyakan hal itu.
Tyas tidak segera menjawab pertanyaan ibunya dan malah memeluk erat tubuh ibunya seraya menangis.
Disela suara tangisan tyas, tian mendengar helaan nafas putus - putus dari tama. Tian menengok dan mendapati kedua mata tama terbuka menatap kearah langit - langit namun jika dilihat dari sudut pandang tyas dan ibuk pastinya mereka mengira kalau tama masih tertidur karena lengannya masih berada diatas wajahnya.
Tama terjaga, dan mendengar semuanya, bahkan sudut matanya kini ikut meneteskan air mata dan tian melihatnya. Melihat seorang sahabat yang tak pernah ia dapati menangis, sekarang menangis karena adiknya.
"jawab pertanyaan ibuk barusan dek." Bathin tama
KAMU SEDANG MEMBACA
#02 TA ( Tama & Tyas) complete ✓
Romance"kita pernah lebih dari ini, lebih dari sekedar berbagi gelas." Aditama Rajendra "dia seperti pohon pisang, sikapnya seperti daunnya yang meneduhkan disaat hujan, tapi sebenarnya dia lemah seperti batangnya yang akan tumbang dalam sekali tendang." ...