THE PAIN

40.7K 3.2K 184
                                    

Berkshire, 1839

Robin Redford meringis menatap cermin kecil dalam kamarnya. Satu-satunya cermin yang dibiarkan ada. 

Mengerikan, bahkan setelah menggunakan dokter terbaik se-Inggris Raya dan proses operasi berulang kali, bekas jahitan pada wajahnya tetap terlihat. Itu, ditambah lagi bekas jahitan yang terdapat di bagian tubuh lainnya. Di punggung. Di dada. Di perut. Di banyak tempat yang kini terekspos pada tubuhnya yang telanjang. Dia tidak ada bedanya dengan boneka perca yang dijahit sembarang.

Jemarinya terangkat menelusuri jahitan pada separuh wajah, dia harus mengakui bahwa pekerjaan yang dilakukan dokter bedah wajah sudah semaksimal mungkin. Bekas yang melintang dari dahi, turun hingga ke leher, tidak terlalu kentara jika tidak ada cahaya yang menyorot langsung pada wajah. 

Meskipun begitu, tangannya bisa merasakan kontur jahitan benang di bawah jemari saat dia merabanya, seolah ahli bedah itu menanamkan tulang ikan di bawah kulit baru yang mulai tumbuh menutupi luka. Sementara itu, terusan luka di bagian pipi hingga dagu, disamarkannya dengan menumbuhkan janggut. 

Masih segar dalam ingatan Robin, ketika kereta kuda yang dia tumpangi bersama Ayah dan Adik lelakinya mengalami kecelakaan. Mereka sedang dalam perjalanan menjemput calon pengantinnya ketika longsoran salju dari gunung turun dan menghantam kereta kuda yang lewat di bawahnya. 

Tak pelak, kendaraan itu terdorong keras hingga jatuh ke jurang yang terjal. Butuh beberapa hari sampai para pekerja yang dikerahkan Ibu menemukan mereka. 

Leslie Redford terlempar cukup jauh dari reruntuhan kereta. Namun, anak itu beruntung. Luka yang dideritanya paling ringan, hanya beberapa patah tulang saja dan jahitan minor. Robin ditemukan sekarat. Pecahan kabin kereta tertancap di banyak tempat di tubuhnya sehingga memerlukan penanganan serius. Sementara, Ayah ditemukan tidak bernyawa. 

Ibu memang tidak menyalahkan dia atas kematian Ayah, tapi justru itu yang membuat rasa berdosanya menjadi berlipat-lipat ganda. Robin merasa dia yang seharusnya mati, bukan Ayah. 

Sejak kejadian itu, Robin berubah. Dia bukan lagi Duke of Windsor yang dulu. Sekarang, ketika menatap dalam cermin, dia yakin setan telah menyelamatkannya, karena sekarang wajah mereka sama.

Robin ingin beteriak dan meninju seseorang hingga tidak berbentuk, agar orang-orang itu turut merasakan kesakitannya. Oh, itu sudah pernah dilakukannya. Itu bahkan hal pertama yang dia lakukan ketika anggota geraknya bisa berfungsi dengan sempurna. Dokter umum yang memeriksanya adalah orang yang tidak beruntung itu.

Jika dikira penderitaannya sudah cukup banyak, ternyata Tuhan masih menambahkan satu lagi untuk memastikan Robin benar-benar jatuh dalam neraka terdalam.

Acara penikahan yang sudah direncanakan jauh hari sebelum kecelakaan terjadi, tetap dilaksanakan sesuai keterangan dalam undangan yang telah di sebar. Tamu undangan juga hadir dengan antusias. Dengan miris, Robin berpikir mungkin mereka bertaruh apakah sang pengantin akan hadir di acara pernikahan dan bersedia menikahi seorang Frankenstein hidup.

Setelah satu jam menunggu dengan gelisah, Pastor akhirnya mengumumkan bahwa calon istrinya memutuskan tidak hadir dan membatalkan pernikahan secara sepihak. Segera saja para undangan membubarkan diri. Namun, Robin masih berdiri di depan altar gereja tiga jam setelahnya, bertanya-tanya mengapa bukan dia yang membatalkan pernikahan ini? Paling tidak dia dan keluarganya tidak akan menderita malu. 

Jika sebelumnya Robin Redford atau yang lebih dikenal dengan Duke of Windsor adalah seorang yang ketampanannya dipuja para wanita, sekarang sebuah lirikan pun tidak bisa didapatnya.

Dia tidak pernah absen dari acara sosial yang diadakan kerajaan sebelumnya. Sekarang meskipun undangan itu dikirimkan langsung oleh Raja Inggris sekali pun, Robin merasa takut untuk pergi keluar rumah. Emosinya mudah tersulut jika lawan bicaranya membuat gestur yang tidak nyaman.

Demi Tuhan, dia bahkan tidak dapat bercinta dengan normal!

Kengerian yang tergambar jelas di wajah para wanita ketika mereka menatapnya dari jarak intim membuat Robin tidak bisa merasakan kepuasan di atas ranjang. Paling tidak, dia ingin para wanita itu berpura-pura mencintainya, memujanya, karena dia sudah membayar mereka dengan harga tinggi.

Rahangnya mengetat, sementara tangan Robin mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih menahan luapan emosi.

Ketukan pada pintu kamar membuyarkan pikirannya. Dengan cepat, tangannya menyambar celana tidur yang tersampir di ranjang dan segera mengenakan. "Masuklah!"

"Mau berapa lama lagi kau mengurung diri di sini, Robin?" tegur Lady Marie—Ibu Robin—begitu kakinya melangkah masuk dalam ruang tidur. 

Sosok pendek dan gempal dalam gaun ruffle, membuatnya tampak seperti boneka salju hidup yang berjalan mendekatinya sambil terus memberondong, "Dengar, aku tidak bisa melihatmu menyiksa diri dari waktu ke waktu. Aku telah memberimu waktu dua tahun untuk memulihkan, fisik dan psikis. Jika kau tidak bisa melakukannya sendiri, biarkan aku membantumu, Sayang." 

"Kalau maksud Ibu mengenai bisnis Ayah, jangan khawatir, semua terkendali dengan baik. Tentunya, Ibu sudah membaca laporan rugi laba, kesepakatan bisnis, kontrak—"

"Robin! Kau tahu aku bukan membicarakan mengenai bisnis ayahmu," tegas ibu memotong keterangannya. Iris biru tua yang berkilat-kilat, kontras dengan wajah yang memerah menahan emosi. "Aku menginginkan cucu, seorang anak darimu."

Robin menggeleng. Seharusnya ini masalah mudah, pekerjaan yang menyita waktu tidak sampai sepuluh menit untuk membuahi seorang perempuan jika dia sedang terburu-buru. Namun, memiliki anak berarti dia harus mencari seorang istri, seorang pengantin yang rela mengandung anak dari lelaki yang mengerikan.

Ibu menyentuh lengannya lembut sembari berkata, "Percayalah, Sayangku, di luar sana ada perempuan yang mencintaimu apa adanya. Kau adalah seorang duke yang terhormat, lelaki yang ceria, humoris, cerdas—"

"Robin yang dulu sudah mati," desis Robin sengit. "Lihat aku sekarang!"

Sebelum Lady Marie bisa merespon, dia berjalan ke jendela besar yang mengarah ke balkon dan berdiri di sana. Sinar matahari siang yang tumpah ke wajahnya membuat luka jahitan itu sangat kentara. Gurat jahitan berwarna putih yang terlihat nyata, tampak seperti belatung yang berbaris.

Alih-alih menatap jijik, Lady Marie menatap anaknya dengan rasa sayang yang sama. Dia menjadi yakin bahwa Ibu sangat mencintainya hingga menginginkan cucu. Robin bersumpah, jika suatu saat menemukan seorang lady yang tidak terkejut dengan wajahnya yang buruk rupa, maka dia akan segera menikahi perempuan itu.

Robin memalingkan wajah ke luar jendela. "Kau bisa menyerahkan semua harta dan gelar ini pada Leslie ketika dia sudah cukup umur. Aku tidak menginginkan apapun."

"Non-sense! Akan ada waktunya untuk Leslie, Sayangku. Sekarang, tugasku adalah menarikmu keluar dari kuburan yang kau gali sendiri. Aku tidak akan lagi menunggu persetujuanmu. Bulan depan, aku akan mengadakan season di Windsor dan kau harus hadir. Titik!"

Robin menatap punggung Ibu yang bergerak menjauh, kemudian keluar dari kamarnya. Dia tahu Lady Marie of Windsor adalah wanita yang tangguh, bahkan cenderung memaksa, jika sudah ada maunya.

Dan karena Robin adalah anaknya, maka dia pun memiliki sifat yang menurun dari sang Ibu. Dia tidak akan hadir di pesta itu, dengan alasan apapun.

TO DESIGN A DUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang