LAST NIGHT IN PEPOLI CASTLE

7.6K 1.3K 26
                                    

Berada dalam temaram cahaya di kamar Robin, Madeline berusaha mengabaikan netra biru laut-- dengan kilat keemasan berasal dari nyala perapian di depan--yang membuatnya tidak nyaman. Ditatapnya sketsa kasar yang dibuat tadi siang, Madeline berusaha untuk fokus menjelaskan desain interior untuk lantai tiga Kastel Pepoli.

"Lihat, Robin ... di sini sepertinya cocok untuk ruang pribadi. Jika kau memiliki koleksi tertentu, itu bisa dipamerkan--"

Sepeninggal Robin, Madeline langsung menegur kakaknya yang menunjukkan reaksi berlebihan tadi siang. Madeline tahu, Angelo khawatir jika bangsawan itu akan menyakitinya, tapi tindakan spontan itu jelas akan menimbulkan kecurigaan.

Mengetahui bahwa surat Nicholas telah sampai, mereka berdua sepakat segera mencari sertifikat tanah dan pergi dari Kastel Pepoli secepatnya. Madeline khawatir jika tinggal lebih lama lagi, penyamaran mereka akan terbongkar. Jika itu terjadi, Robin pasti akan melibatkan pejabat dan tentara Inggris yang bertugas di Sisilia untuk mendukungnya.

"Lalu, bagian ini--" Jemari Madeline menunjuk pada salah satu sudut ruangan--yang jauh dari tangga ke arah menara--dan lanjut menjelaskan idenya.

Dia dapat merasakan intensitas tatapan Robin di atas kulitnya, bagai sentuhan kasat mata, yang membelai dari ujung rambut turun ke wajah. Ke lekuk telinganya. Ke bibirnya yang berucap. Tatapan yang menghantarkan getaran aneh di sepanjang tulang punggung, dan membuat tempat tersembunyi di tubuhnya yang tidak dia ketahui bisa berdenyut halus.

Fokus, Maddy, fokus!

Dia sendiri tidak yakin dengan penjelasan mengenai desainnya yang panjang lebar barusan, pendengarannya hilang timbul seperti sedang terapung di atas laut. Rasa lega meliputi ketika akhirnya dia sampai di akhir presentasi desain.

"Nah, bagaimana pendapatmu, signore?" 

Saat mengangkat kepala dan menoleh ke ara Robin, pandangannya terperangkap dalam tatapan sayu yang misterius. Lelaki itu tidak menjawabnya. Duduk dengan satu tangan menopang sisi wajahnya, netra biru laut lelaki itu berkilat lembut dan ujung bibirnya tampak seperti menyunggingkan senyum.

Madeline berdeham untuk mengusir rona merah di wajah dan menyadarkan Robin dari apapun yang sedang dipikirkannya saat ini. Melihat bangsawan itu tidak bereaksi, Madeline menjentikkan jari di depan hidungnya.

"Apa kau mabuk? Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah menyangkut surat dari Duca di Hartington?" tanya Madeline bertubi-tubi. Ketika sadar dia telah bertingkah seperti wanita, Madeline buru-buru mengatupkan bibir.

Seringai Robin perlahan mengembang, sebelum berubah menjadi sebuah tawa. Sambil meregangkan tubuh, lelaki itu berkata, "Maaf, aku kurang konsentrasi terhadap pembahasan malam ini. Kau benar, aku sedang memikirkan itu dan perempuan berambut merah."

"Kuharap kau lebih berkonsentrasi dengan surat Nicholas agar bisa bersiap jika ibumu datang."

Robin tertawa. "Jika ibuku--Dowager Duchess of Windsor--datang dengan pemberitahuan, aku bersumpah akan menghias kastel ini dengan indah untuk menyambutnya. Sayangnya, tidak ada informasi apapun yang tertulis dalam surat itu, selain kecurigaan Nicholas dan secarik sertifikat pembelian kastel seperti yang dijanjikannya akan dikirim."

Netra hitam Madeline bersinar mendengar keterangan Robin. Dia memelintir kumis palsunya, merasa puas saat dugaannya tepat. Sekarang, tinggal mencari di mana sekiranya Robin menyembunyikan sertifikat itu.

"Sebaiknya kau segera menyembunyikannya, Signore. Sisilia bukan pulau yang aman, aku khawatir benda berharga itu menjadi incaran pencuri."

Tangan Robin terulur mengambil gelas liquor yang berisi cairan keemasan dari meja dan menandaskannya dengan sekali teguk. Pandangan lelaki itu masih menatap pada gelas kosong di atas meja, ketika berkata, "Kau tahu? Nicholas juga memperingatkan hal yang sama. Dia meminta aku menyimpan sertifikat itu dekat-dekat agar tidak mudah dicuri."

TO DESIGN A DUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang