Semuanya terjadi seperti sihir, pikir Robin. Satu saat dia merasa baru sampai di Marina dan disambut oleh suasana yang meriah. Mata uang lokal dalam kantung yang diberikan Conrad, lebih dari cukup untuk membeli makan malam dan makanan ringan yang dijajakan sepanjang jalan.
Para wanita dalam topeng—atau dengan wajah yang dicat, hingga tidak dapat dikenali—menyapanya. Mungkin Conrad benar, celana ketat Zorro membuatnya tampak gagah. Pesan-pesan dalam kertas disematkan beberapa wanita dalam tangannya, berisi ajakan kencan dan alamat. Dia merasa kembali hidup, seperti saat cacat tubuhnya belum ada.
Kabar buruknya adalah setelah dua jam lebih berkeliling—melihat parade kereta bunga, tarian perut yang menggairahkan, badut yang menyemburkan api, dan hal menarik lainnya—Robin merasa selangkangannya mulai lecet karena celana yang terlalu ketat.
Akhirnya, dia memutuskan untuk masuk ke salah satu bar di tepi dermaga. Sialnya, tidak ada tempat duduk di sana dan Robin harus berdiri di sudut menunggu kursi kosong.
Namun, keajaiban terjadi. Tiba-tiba semua orang berdiri dan menyerbu meja bartender, karena tawaran minuman gratis bernama lucu. Tempat duduk yang semula penuh, seketika kosong, seolah memang sudah diatur. Tanpa pikir panjang, Robin segera menempati kursi kosong yang paling dekat dari posisinya, tanpa tahu seorang wanita sedang mengincar termpat duduk yang sama.
Bukan Duke of Windsor jika dia tidak bisa memikat hati seorang wanita, apalagi sosok yang berdebat dengannya adalah seorang Marie Antoinette. Akhirnya, wanita itu mau berbagi meja dengannya.
Sulit untuk menilai kecantikan seorang wanita ketika separuh wajahnya tertutup topeng berbingkai bulu. Namun, Robin melihatnya jelas. Tubuh di depannya sangat molek, dengan belahan dada penuh, tidak seperti kebanyakan para lady di Inggris. Hal lain yang membuat Robin tertarik adalah rambut merahnya yang tergerai hingga ke pinggang.
Dia belum pernah berkencan dengan wanita berambut merah. Di Inggris, sulit sekali menemukan warna rambut seperti itu, hampir tidak ada. Kecuali, jika seseorang itu keturunan bangsa Skotlandia. Gosip yang beredar, wanita berambut merah adalah seorang jalang, perempuan yang panas di tempat tidur.
Wanita itu memang sudah menarik perhatiaannya sejak melangkahkan kaki dalam bar, tapi bukan itu alasan Robin akhirnya mencium Marie Antoinette. Saat bibir ranum berulas merah itu menyebutkan nama 'Robin Hood', dia merasa dunianya seperti tersedot dalam sebuah lampu ajaib. Robin tidak mendengar suara ribut lelaki yang bertengkar di mulut pintu. Dia tidak mendengar ketika sekelilingnya menjadi kacau karena terjadi baku hantam.
Di pikirannya hanya ada bibir merah yang merekah dan menguncup saat dia menyebutkan kata 'Robin Hood', seakan wanita itu memang menginginkan ciuman. Jadi, dia memberinya.
Aroma lemon, tembakau, dan rempah yang kuat menguar dari kulit Marie Antoinette membuatnya mabuk. Kemudian, ketika wanita itu balas menciumnya, seluruh dunia menghilang dari pandangan.
Pasti sihir. Robin belum pernah mengalami hal seperti ini. Namun, kehangatan wanita ini nyata. Dia sadar saat menyusupkan jemarinya dalam kelebatan rambut merah dan menarik kepala Marie Antoinette lebih dekat.
Entah apakah Robin sudah lama memimpikan keintiman seperti sebelum hidupnya berubah, ataukah memang wanita ini sangat menggairahkan, tapi demi para Dewa Yunani jadi-jadian di luar sana ... wanita ini sungguh lezat.
Robin memperdalam ciumannya, menuntut lebih banyak, dan terkejut ketika wanita itu ternyata mampu mengimbanginya. Tidak seperti para lady di Inggris yang hanya pasrah menerima pagutan demi pagutan dari bibirnya, Marie Antoinette dalam rangkulannya mampu membalas setiap belaian bibir Robin dengan intensitas yang sama. Dia mengerang ketika wanita itu menggigit bibir bawahnya.
Wanita itu refleks menarik diri dan menatapnya. Netra hitamnya yang kelam dan terbingkai topeng berbulu tampak khawatir, ketika bertanya, "Dio mio, apa aku melukaimu?"
Robin mengernyit, karena tidak dapat mencerna kata-kata wanita itu. Dia masih merasa seperti melayang di langit malam. Yang ingin dilakukannya adalah menarik wanita itu lagi dan membawanya pergi dari tempat ini. Ranjang adalah satu-satunya yang ada dalam pikiran Robin, tapi di mana?
Kemudian, Robin mengejap. "Aku baik-baik saja."
"Tapi, bibirmu berdarah, Zorro."
Lagi-lagi bibir itu maju, seakan menantangnya. Robin kembali mencengkeram lebat rambut wanita itu dan menghujaninya dengan pagutan. Persetan dengan bibirnya yang terluka. Wanita itu bisa mengunyahnya jika mau, Robin tidak akan keberatan.
Wanita itu membalasnya tanpa ragu. Dia dapat merasakan jemari halus Marie Antoinette yang menyusup dalam celah kemejanya, menelusuri tekstur kulit dan membuatnya menggigil. Robin yakin, wanita ini—siapa pun dia—juga menginginkan ranjang sebanyak dirinya.
"Bagaimana kalau kita mencari kamar terdekat di sini, Senorita*?" tanya Robin di sela pagutannya.
Tidak ada jawaban.
Robin baru berpikir wanita itu setuju dengannya, ketika sekali lagi Marie Antoinette menarik diri dengan refleks. "Ti-tidak, tidak bisa!"
"Tidak bisa? Apakah kau sudah punya kekasih?"
"Be-belum."
"Kalau begitu, kau sudah bersuami?"
"Tentu saja belum!" Marie Antoinette mulai tampak tersinggung.
"Anak?"
Sebuah tamparan keras melayang ke pipinya, sebelum wanita itu menjawab. "Saya masih perawan, Signore, kalau itu yang ingin kau ketahui. Dan saya tersinggung dengan ajakanmu. Saya bukan wanita murahan seperti yang kau pikirkan!" Kemudian, wanita itu berdiri dan bergegas pergi.
Robin terperenyak di kursinya. Setelah Marie Antoinette berambut merah pergi, dia baru menyadari interior bar yang berantakan dan hanya menyisakan beberapa orang lelaki di dalam, termasuk dirinya. Selain Mama, Robin tidak ingat kapan seorang wanita pernah menamparnya, tapi seingatnya ... tidak ada.
Diputarnya kembali ingatan akan kejadian barusan. Cara wanita itu membalas ciumannya dan gestur yang mengundang, sama sekali tidak memperlihatkan seorang perawan. Menilik dari umur pun, usianya mungkin sudah di atas dua puluh tahun, lalu mengapa wanita sensual sepertinya masih sendiri?
Ledakan kembang api yang berwarna-warni di luar bar menandakan waktu telah menginjak tengah malam. Robin sama sekali tidak tertarik untuk keluar dan bergabung dengan kerumunan di depan. Tangannya menyentuh bekas tamparan yang baru diterimanya. Meskipun Robin dapat menggerakkan otot wajahnya dengan baik, dia sempat berpikir bahwa wajahnya sudah lumpuh dan tidak lagi dapat merasakan apa pun.
Sekarang, dia merasakan panas di sana dan denyut nyeri, serta sedikit rasa tertusuk pada harga dirinya yang malah membuat adrenalinnya menyala. Wanita itu telah menghidupkannya, seperti api membakar obor yang dingin, membuatnya bergairah, menginginkan, merasakan sesuatu yang dia pikir telah mati. Dan sekarang, Robin bertekad untuk mencarinya sampai ke pelosok Sisilia.
Setelah menetapkan pikirannya, Robin mendorong meja untuk berdiri. Sepasang sepatu kulit yang teronggok di depan kursi sebelahnya menarik perhatian. Rupanya, wanita itu teburu-buru melarikan diri darinya, sehingga tidak sempat mengenakan sepatu. Robin memungut sepatu itu dan mengamati ukuran kaki yang kecil.
Seringainya merekah, seiring dengan rasa penasaran yang tinggi. Wanita macam apa yang akan ditemuinya di balik topeng Marie Antoinette?
GLOSSARY :
*) Senorita = nona
KAMU SEDANG MEMBACA
TO DESIGN A DUKE
Narrativa Storica[AZA Award Winners] [Wattys2021 Short Listed Story] [Wattys2021 Winner - Historical Fiction] Spin-off The Horse Whisperer. Hidup Robin Redford atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Windsor berubah dalam satu malam. Serial kejadian buruk menimpanya...