Berengsek!
Robin memaki sambil menutup kembali pintunya saat melihat sepasang mata memandang dari kegelapan ke arah pintu kamar. Ibunya benar-benar mengesalkan, sudah semalaman dia menunggu, semalaman pula Ibu memerintahkan penjaga untuk tidak meninggalkan pintunya.
Biasanya, penjaga yang diperintah Ibu hanya bertahan beberapa jam saja. Robin menyugar rambut pirangnya dan berjalan mondar mandir dalam kamar. Entah mengapa, respon yang ditunjukkan Ibu terhadap Madeline berbeda dengan yang ditunjukkannya pada teman kencan sebelumnya. Kali ini, Ibu seperti merasa terancam dengan keberadaan Madeline.
Menghela napas dalam-dalam, Robin menopangkan kedua tangan pada kusen jendela kamarnya. Hari sudah hampir pagi, dedaunan yang menyusun taman labirin di bawah mulai tampak kekuningan karena cahaya matahari yang mulai bangun dari peraduan.
"Apa itu?" tanya Robin pada diri sendiri, saat matanya menangkap gerakan dari halaman depan menuju taman labirin.
Keningnya berkerut, warna kepala di bawah sana menyala-tenggelam saat terkena sinar matahari yang mengintip dari balik pepohonan. Netra biru lautnya memicing agar dapat melihat lebih fokus.
"Madeline?"
Seringai Robin mengembang saat memperhatikan sosok di bawah sana yang terlihat kebingungan. Jika wanita itu ingin mencoba taman labirin, mengapa tidak mengajaknya serta? Ataukah, gadis berambut merah itu yakin bahwa Robin akan melihat dari atas dan menyusulnya? Yang mana pun, menurut Robin, ide Madeline sungguh cerdas.
Bayangan bercumbu dengan Madeline di taman labirin pagi hari, membuat wanita itu mendesah dan menyerah pada kebutuhannya di bawah langit, di antara bau rerumputan yang lembab dan segar, tentunya akan menjadi pengalaman seumur hidup yang tidak akan terlupakan.
Belum pernah dia melakukan ide gila ini pada siapapun, tapi tidak masalah. Robin tidak akan dijuluki most wanted bachelor on bed, jika tidak bisa memberikan sensasi bercinta luar biasa pada seorang wanita. Dan, Madeline membuat dia ingin mengeluarkan semua keterampilan bercinta yang dimiliki untuk membuat wanita itu tergila-gila padanya.
Robin bergegas menuju lemari pakaian. Ditariknya selembar selimut berukuran besar dan bergegas keluar kamar. Persetan dengan penjaga yang masih mengawasinya, lelaki kurus itu bisa melaporkan kepada Ibu kalau dia pergi keluar kastel.
Dia harus cepat atau akan kehilangan jejak Madeline. Mungkin, Robin bisa menemukan wanita itu dengan meneriakkan namanya, tapi itu tidak akan jadi suatu kejutan.
Bayangan sosok ramping masih dalam pakaian berwarna maroon tampak mengendap-endap di antara pohon Willow, yang berbaris di sepanjang jalan utama menuju taman labirin, menyita perhatiannya.
Ah! Rupanya di sana, batin Robin ketika melihat langkah Madeline yang semakin dekat ke mulut labirin. Robin berjingkat sambil mengepit selimut di bawah ketiak, gerakannya yang ringan dan cepat mampu menyusul Madeline.
"Kena, kau, Milady!" Robin merangkul tubuh ramping itu dari belakang, sementara satu tangannya lagi membekap mulut Madeline agar wanita itu tidak berteriak dan membangunkan seluruh kastel.
"Hmph! Hmph!"
Robin menurunkan bibirnya ke daun telinga yang indah, sangat dekat hingga aroma kayu manis dari tubuh Madeline menggelitik penciumannya. "Ssst! Diamlah."
Dilepaskannya perlahan bekapan pada mulut wanita itu. Seringainya mengembang saat menatap rambut merah Madeline yang menyala terkena sinar matahari, dan membayangkan jika saja tidak ada penghalang, maka pagi ini pastinya dia sedang menatap nyala itu di atas pembaringannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO DESIGN A DUKE
Tiểu thuyết Lịch sử[AZA Award Winners] [Wattys2021 Short Listed Story] [Wattys2021 Winner - Historical Fiction] Spin-off The Horse Whisperer. Hidup Robin Redford atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Windsor berubah dalam satu malam. Serial kejadian buruk menimpanya...