Entah sudah berapa gelas dihabiskannya, tubuh Madeline bergoyang-goyang--maju mundur--seolah berada di atas perahu kecil di hamparan luas samudra. Pandangannya berbayang dan kelopak matanya berat. Dia mungkin mabuk, tapi tidak buta.
Itu yang membuatnya bertanya-tanya : mengapa tangan Robin berada di atas dadanya?
"Jangan sentuh," ujar Madeline lemah, tangannya menampar tangan Robin agar menjauh darinya. "Kubilang ... jangan sentuh aku."
Robin tertawa, suaranya rendah dan membius. "Tenang, Guizeppe, kau mabuk dan aku akan menolongmu." Sekali lagi, tangan besar itu terulur mendekat dan membuatnya panik. Namun, rasa lemah dan pusing membuat Madeline tidak tahu bagaimana cara untuk menjauhkan lelaki itu.
"Pergi!" Seperti mengusir lalat, dia mengibaskan telapaknya ke sembarang arah, dan berhasil membuat Robin membatalkan niatnya. Madeline terkekeh penuh kemenangan.
Bebat kanvas sialan yang membalut tubuh membuatnya serasa terpanggang di dalam. Tangan Madeline bergerak mengipasi wajahnya. "Ya, Tuhan, panas sekali di sini."
Robin terkekeh, "Satu mantel lagi, Guizeppe, dan kemeja di dalam itu, maka kau akan bebas, sepertiku. Kau akan bisa merasakan angin mengembus kulitmu, membuatnya sejuk."
Lelaki itu seperti mengerti siksaan yang dia hadapi dan mengatakan apa yang ingin didengarnya. Menutup mata, Madeline bisa merasakan kesejukan menyapu kulitnya. Mengusir rasa gerah yang menyiksa, sejak dia memutuskan untuk membantu Angelo.
Tekanan-tekanan jemari di atas dadanya mulai terasa lagi, tapi Madeline mengindahkannya. Dia terlalu lelah dan ingin menyerah pada apapun yang menawarkan kebebasan.
"Duduklah diam, Guizeppe. Aku sulit menangkap kancing-kancing kecil berengsek di mantelmu saat mereka berbayang."
Tawa Madeline pecah, mendengar kata-kata Robin. Lelaki itu lucu sekali, untuk apa kancing-kancing itu ditangkap? Apakah kancing-kancing itu telah melakukan kejahatan, seperti dia dan Angelo?
Tekanan itu merambat turun, dari dada sekarang berada di perutnya. Rasa tidak nyaman membuat Madeline berusaha membuka mata. Saat menatap ke bawah, alisnya berkerut. Samar-samar dilihatnya empat buah kancing teratas dari mantel telah terbuka, dan Robin sedang berkutat dengan kancing kelima di sana.
Berengsek! Apa yang sedang dilakukan Robin? Bukankah dia sudah mengatakan untuk tidak menyentuhnya?
Darahnya terasa panas. Jika Duca di Windsor tidak mengerti apa yang barusan dia katakan, maka Madeline akan menunjukkannya. Mendengkus marah, Madeline memajukan tubuh dan mendorong dada telanjang Robin dengan sisa kekuatannya. Mereka berdua terjungkal ke lantai.
Bunyi berdebum dan suara keras hantaman kursi di atas keramik membuat Madeline terkejut setengah mati. Beruntung, benda itu tidak jatuh menimpanya. Lain halnya dengan Robin, bangsawan itu mengeluarkan sumpah serapah yang tidak jelas. Madeline kembali tertawa keras.
Oh, ya, ampun ... dia pasti sangat mabuk. Entah minuman apa yang diberikan Robin padanya, dia merasa tulang-tulangnya telah di cabut keluar dari tubuh. Bahkan untuk tertawa saja sangat menguras energi. Dia merasa rapuh dan sewaktu-waktu bisa pecah berantakan, seperti garden gnomes.
Perlahan, Madeline mengubah posisi duduknya dan memutuskan untuk berbaring. Dia tidak tahan untuk tidak mendesah nikmat, saat rasa dingin dari keramik di bawahnya menembus bebat kanvas. "Dingin ... sejuk."
"Sialan, Guizeppe, sudah kubilang jangan bergerak!"
Dipalingkan kepalanya pada suara menggeram di sebelah. Samar-samar, dia melihat lelaki itu bergerak, menyeret tubuhnya mendekat. Madeline terkekeh, ternyata Robin sama mabuk dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO DESIGN A DUKE
Ficción histórica[AZA Award Winners] [Wattys2021 Short Listed Story] [Wattys2021 Winner - Historical Fiction] Spin-off The Horse Whisperer. Hidup Robin Redford atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Windsor berubah dalam satu malam. Serial kejadian buruk menimpanya...