ERICE

8.4K 1.3K 8
                                    

"Untung kau tidak memutuskan tinggal di sana, Maddy. Kita akan terpaksa tidur di lantai yang dingin tanpa alas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupaku ketika bangun esok harinya."

Suara Sofia terdengar begitu wanita itu membuka pintu dan keluar dari kamar mandi hanya dengan sepotong handuk yang membelit tubuh telanjangnya. Harum aroma mawar dari sabun yang digunakan Sofia memenuhi udara dalam ruangan, bak terapi aromatik.

Maddy meletakkan buku yang dibacanya ke atas ranjang, kemudian menoleh. "Untung kau menahan kusir kereta untuk tidak pergi, Sofia. Jika tidak, kita akan terdampar di sana. Duca di Windsor sungguh mengerikan."

"Sebenarnya, lelaki itu cukup tampan, jika saja tidak ada parut di wajahnya." Sofia terlihat merenung sebentar, sebelum melanjutkan, "Bola mata birunya—Oh, Dio mio ... rasanya seperti berenang di laut mediterania di musim panas."

"Dasar wanita pengkhayal," hardik Madeline sambil terkikik.

Penilaian Sofia sebenarnya tidak jauh berbeda dengannya, warna mata Duca di Windsor memang menghanyutkan. Dan, jika Sofia berminat, sahabatnya boleh memiliki Robin, karena dia sudah terlanjur jatuh hati pada Zorro dengan warna mata yang sama-sama menghanyutkan. Lelaki yang sudah mencuri ciumannya di carnevale di Sciacca.

Saat ini, ketika dia memikirkan sosok berjubah hitam itu lagi, Madeline merasa suhu tubuhnya naik. Dia masih dapat merasakan sentuhan bibirnya yang membangkitkan gairah, seolah kejadian itu baru terjadi kemarin malam. Madeline bergerak gelisah di atas ranjangnya.

"Untung saja, menjelang sore kita sudah keluar dari sana." Suara Sofia memecah perhatian Madeline.

Wanita itu berkaca sambil mengeringkan rambut pirangnya dengan handuk kecil. "Oh ya, kau terlihat kaku untuk seorang lelaki tua, ketika kita berada di lantai tiga.

"Seharusnya, kau tertawa ketika Robin menyebutkan mengenai pesta pribadi, bukannya malah diam dan merona seperti seorang perjaka. Dalam kehidupan nyata pun, aku meragukan jika Signore Guizeppe seorang perjaka."

Madeline tidak bisa menahan tawanya. Bisa dipastikan, bahwa guru mereka bukanlah seorang perjaka, karena ketika dia membongkar lemari pakaian Signore Guizeppe, Madeline menemukan beberapa pakaian dalam wanita di sana.

"Akan kuperbaiki lagi aktingku, Sofia, terima kasih atas kritiknya. Tapi sungguh, apa yang dikatakan Robin tadi menimbulkan fantasi yang tidak pantas dalam benakku. Aku jadi ingat cerita para leluhur mengenai ritual Kastel Venus di atasnya."

"Ah—bercinta dengan pelaut asing. Bukankah terdengar erotis sekali?" Sofia kembali terkikik senang

"Tidak ada yang menarik mengenai itu, Sofia. Menurutku, pemujaan terhadap Dewi Venus seperti itu adalah perbuatan dosa. Itu semacam pelacuran yang dikemas dalam bentuk upacara suci. Syukurlah ritual itu sudah dilarang berabad-abad yang lalu."

"Kau terlalu lurus, Maddy. Jika kau berpikir bertemu pria misterius yang mencintaimu dan hidup bahagia selama-lamanya, kupastikan kau tidak akan menemukannya di dunia nyata. Oleh karena itu—sangat kusarankan—jatuh cintalah sesering mungkin. Manjakan dirimu dengan belaian dan hadiah-hadiah dari para lelaki, meskipun itu sementara."

Sofia berkata sambil menanggalkan handuk dan menatap bayangannya dengan percaya diri di depan cermin. Lalu, wanita itu beranjak mengambil gaun tidur yang terletal tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Aku tidak punya waktu untuk itu," kilah Madeline. "Ngomong-ngomong, rasanya lega sekali terlepas dari belitan kanvas di tubuh. Aku tidak tahu bagaimana jadinya bila tidak ada kau, Sofia. Grazie*."

Sofia tertawa terbahak-bahak. "Coba ukur, apakah payudaramu berkurang satu atau dua senti karena belitan yang terlalu ketat."

Madeline terbahak-bahak, kemudian melempar bantal kecilnya ke arah Sofia dan meleset. Dia bersyukur memiliki teman perjalanan yang humoris, tapi ada sedikit keraguan jika Sofia bisa menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri.

TO DESIGN A DUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang