GOOD BYE, ROBIN

8.2K 1.1K 29
                                    

"Madeline datang atas undanganku, Bu."

Sebagai kesopanan, Robin mendekat dan mencium pipi ibunya. Lelaki itu kemudian menggandeng sisi tangan satu lagi, mengawal wanita tua itu ke tempat duduknya di ujung meja kayu Jati dengan panjang tiga meter.

Acara makan malam berlangsung formal, Madeline memperhatikan pembicaraan cerdas antara Robin, Nicholas, dan Lady Marie saat makanan penutup disajikan.

"Sisilia adalah gudang sulfur, kurasa parlemen kita tidak akan membiarkan zat itu jatuh di tangan negara yang tidak bisa mengolahnya sebaik Inggris."

"Kurasa begitu. Hal yang parlemen takutkan adalah yang jatuh ke tangan Perancis bukan hanya sulfur, tapi juga bisnis agrikultural Sisilia yang berlimpah, contohnya anggur."

"Itulah yang menyebabkan kekacauan merebak di negara mafia dan menimbulkan gejolak eksodus besar-besaran keluar pulau. Bukankah begitu, Young Lady?"

"Oh ...." Madeline terkesiap saat tatapan tajam Lady Marie tertuju padanya. Ditegakkan tubuh dan berusaha menjawab sebisanya. "Ya, betul, Milady. Kaum monarki di Sisilia tidak sekuat baik Kerajaan Inggris atau Perancis.

"Masalah lainnya adalah sifat individual dan tidak adanya persatuan. Di Sisilia, orang-orang terkuat bukanlah aparatur negara, melainkan para tuan tanah dengan egonya masing-masing. Kurasa, ini sebabnya kelas bawah memutuskan untuk keluar dari pulau dan memulai kehidupan baru di tempat lain, ketimbang jika harus hidup sengsara karena perang."

Nicholas tersenyum padanya, netra bening itu menyorotkan kekaguman. "Penjelasan yang luar biasa, Milady. Sungguh hal langka mengetahui seorang wanita cukup sensitif dengan keadaan sosial politik negaranya."

Komentar Nicholas bernada memuji membuat wajahnya tersipu. Namun, rona itu segera hilang ketika pandangannya kembali terarah pada wajah Lady Marie yang menatapnya lurus tanpa ekspresi. 

Setelah jeda yang terasa lama, kepala Lady Marie yang putih mengangguk perlahan, kemudian dia berkata, "Sepertimu kurasa."

"Pardon?" tanya Madeline dengan alis bertautan.

Lady Marie mengedarkan pandangan kepada pasangan Duke of Hartington yang menatapnya dengan tanya, sebelum netra hijau emerald itu kembali menatapnya. "Bukankah kau juga turut dalam gelombang eksodus keluar pulau? Itu sebabnya kau ada di sini, bukan?"

Bibir keriput itu tidak tersenyum dan tampak tipis karena tegang. Madeline mengulum bibir dan menurunkan pandangannya, tidak tahu bagaimana sebaiknya menjawab pertanyaan Ibunda Robin yang bernada merendahkan.

"Kurasa Ibu sudah tahu semua mengenai mengapa Madeline berada di sini. Bukankah kau menyita surat-suratnya yang ditujukan padaku? Lalu untuk apa bertanya lagi?" Suara Robin memecah keheningan yang tegang, seperti senar gitar yang ditarik terlalu kencang.

"Non-sense!" hardik Lady Marie dengan nada tinggi. "Untuk apa aku menyita surat-suratmu? Aku bahkan tidak bisa membaca tulisan tangan yang terlalu kecil."

Suara napas tertahan terdengar, sebelum Robin berkata, "Kau barusan mengakuinya, Bu."

Wajah yang pucat itu kini memerah menahan emosi. "Itu tidak benar, Robin. Tuduhanmu sangat jahat dan aku menolak mendengarnya lagi. Jika kau ingin meminta maaf, aku akan berada di kamarku. Permisi."

Lady Marie membanting serbet makannya di atas meja, kemudian berdiri dan berjalan menjauh. Langkahnya diikuti oleh adik Robin yang mengejarnya dari belakang. 

Begitu Lady Marie menghilang dari ruang makan, Nicholas langsung berdiri dan menghampiri tempat duduk Robin. "Kau gila. Apa yang kau pikir, barusan kau lakukan?"

TO DESIGN A DUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang