Akhirnya, setelah mencari ke seluruh ruangan, sertifikat itu ditemukan Madeline tersemat dalam sarung bantal di atas ranjang. Sial! jika saja Madeline ingat pesan Nicholas yang disebutkan Robin lebih awal, dia tidak akan membuang waktu beberapa jam untuk mengacak-acak ruangan yang indah ini.
Sekali lagi, dia memastikan keaslian sertifikat tanah dalam genggamannya, kemudian segera memasukkan dalam amplop untuk diserahkan pada Angelo. Namun, begitu membalikkan badan, Madeline membelalak. Napasnya tercekat di tenggorokan, mendapati sosok jangkung yang tadi roboh akibat bubuk obat, sekarang sudah berdiri tegak di belakangnya.
"Dasar penipu!" geram Robin.
Lelaki itu langsung menyerbu sebelum dia dapat berkedip. Lengan kokoh itu merengkuh tubuhnya dengan mudah dan menguncinya erat, sementara tangan yang bebas berusaha menjangkau amplop yang dipegangnya.
"Tidak semudah itu, signore!"
Madeline meronta dalam pelukan Robin dan berhasil membebaskan tangannya yang memegang amplop. Ditariknya tangan ke belakang, menjauhkan jangkauan tangan Robin dari tiket emas yang barusan ditemukan. Madeline tidak mungkin begitu saja menyerah, setelah berhasil mendapatkannya.
"Seharusnya aku menaruh curiga bahwa kau adalah wanita. Pinggang yang kecil. Perawakan mungil. Kulit bercahaya. Katakan, siapa kau sebenarnya? Atau—"
"Atau apa? Kau akan memasukkanku ke penjara?" Madeline berdecih. "Ancamanmu tidak lebih dari senjata kosong. Aku sudah biasa mendengar ancaman seperti itu, dan itu tidak membuatku gentar." Madeline tidak membual. Dia menjalani hidup yang keras dan keluarganya juga sudah terbiasa dengan ancaman dari kaum mafioso.
Satu-satu hal yang disesalinya sekarang adalah dia seharusnya mendengarkan pesan Angelo dan menuangkan seluruh isi bungkusan itu untuk memastikan Robin benar-benar pingsan. Namun, rasa khawatir jika bubuk itu berbahaya, membuat Madeline hanya menuangkan setengahnya. Dan sekarang, dia harus menanggung akibatnya.
Dengan giginya, Robin menarik kumis Guizeppe lepas dan membuat wanita itu mengaduh. "Kau? Rasanya aku pernah bertemu denganmu sebelum ini. Apakah waktu itu aku berbuat salah hingga kau membalas dendam?"
Dia menatap Robin dalam-dalam dan bertanya apakah lelaki itu mengingatnya? Apa yang akan dilakukan lelaki itu setelah mengetahui identitasnya? Kemudian, rasa takut timbul saat tatapan Robin mempelajari wajahnya. Masih ada misi yang harus diselesaikan dan Madeline belum siap jika identitasnya terungkap sekarang.
"Tidak. Kau salah orang!"
Rasa panik membuat Madeline kembali meronta dalam kungkungan tangan kekar Robin yang melingkar di pinggangnya. otaknya dengan cepat berputar memikirkan bagaimana cara untuk melepaskan diri, menembus pintu itu dan pergi menemui Angelo.
Rasa putus asa membuat Madeline nekat menggigit dada Robin. Kungkungan lengan kokoh itu langsung lepas seiring teriakan kesakitan yang membahana. Dengan gesit, Madeline melompat ke ranjang, berguling, dan mendarat mulus di sisi lainnya, saat tangan Robin hampir saja menangkapnya lagi.
Saat dia berpikir telah lepas dari mulut buaya, Madeline mendapati dirinya berada di sudut ruangan. Dengan kata lain, dia terjebak.
Oh, sial! Sisi kirinya adalah dinding, sementara di sebelah kanan adalah lukisan besar seseorang wanita yang mirip dengannya. Satu-satunya jalan untuk meloloskan diri adalah dengan merobohkan tubuh tegap Robin yang berada di hadapan.
"Kembalikan surat itu, bocah tengik!"
"Dalam mimpimu, bangsawan mesum!"
"Jika aku mesum, kau sudah kugauli sejak pertama kali menginjakkan kaki di kamar ini," sengit Robin membalas tuduhan Madeline. Kemudian, suara itu berubah menjadi dalam dan berbahaya. "Kembalikan padaku sertifikat itu. Jika uang yang kau inginkan, aku bisa membayarmu berapa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
TO DESIGN A DUKE
Historical Fiction[AZA Award Winners] [Wattys2021 Short Listed Story] [Wattys2021 Winner - Historical Fiction] Spin-off The Horse Whisperer. Hidup Robin Redford atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Windsor berubah dalam satu malam. Serial kejadian buruk menimpanya...