"Lady Marie berkata ... aku hanya bisa sampai di ranjangmu. Anak-anakku tidak akan pernah mendapat pengakuan negara. Dan pada akhirnya, aku terpaksa melihatmu menikah dengan seorang bangsawan agar kau memiliki penerus yang sah."
Madeline mencengkram kemeja Robin, kedua netra hitam yang menatapnya kembali berkaca-kaca ketika berkata, "Katakan padaku, Robin, bagaimana mungkin aku mampu hidup seperti itu?
"Aku tidak perlu embel-embel bangsawan dan harta kekayaan. Yang kuinginkan hanyalah hidup damai bersama orang yang kucintai, membesarkan anak-anak kita, dan memberikan pendidikan yang baik. Itu saja. Tapi, justru itu yang tidak bisa kudapatkan darimu."
Bulir air turun dari kedua sudut mata yang memandangnya, sekali lagi Robin merasakan sakit di dadanya. Tusukan itu lebih dalam dari sebelumnya, membuat dia ingin berteriak. Alih-alih melakukan itu, suara yang keluar darinya hanya berupa lirihan.
"Madeline, please ...."
Wajah cantik yang menatapnya berusaha memaksakan senyum, tapi gagal. Madeline mengejap. "Aku terlalu mencintaimu, Robin, dan tidak tahu apakah aku bisa bertahan di luar sana. Tapi, aku akan melakukan apa pun, demi kebahagiaanmu."
Saat Madeline berusaha melepaskan, tangan Robin mencengkeram lebih kuat, menahannya agar tidak pergi. "Dengarkan aku, Madeline. Aku tidak tahu bagaimana caranya berbahagia, jika tanpamu. Aku sudah pernah mengalaminya. Pilihanmu hanya dua, My Love, bertahan bersamaku di sini, atau kita menghilang bersama. Aku tidak sanggup lagi jika harus berpisah. Aku mencin--"
"Tidak! Tolong jangan katakan itu agar aku bisa berpura-pura jika kau membenciku."
Kening Robin berkerut dan rahangnya mengetat menahan tusukan yang semakin dalam di dada mendengar kalimat Madeline. Oh, Tuhan, bagaimana mungkin Robin membiarkan Madeline berpikir bahwa dia membencinya.
Robin menarik wanita itu masuk dalam pelukan. Suaranya bergetar ketika berbisik, "Kau, Madeline di Russo, bersediakah menjadi istriku hari ini, tanpa peduli di mana tempatnya, karena aku sangat mencintaimu.
"Jika kau menolakku, aku akan membenturkan kepalaku di kolam air mancur itu agar kau bisa melihat darahku yang memancar nanti tidak berwarna biru, melainkan merah, sama sepertimu." Suaranya bergetar, air mata menetes dari netra berwarna safir. Tidak ada jalan kembali bagi Robin, dia tidak mungkin hidup tanpa Madeline.
"Robin--"
Jantung Robin berdegup. Rasa khawatir akan penolakan membuat lelaki itu segera memotong kalimat Madeline. "Pikirkan kata-kataku barusan, sebelum kau menjawab."
"Robin, aku--"
"Hentikan kebisingan ini sekarang juga! Keributan yang kalian buat mengganggu acara minum teh klub dowager!" hardik seorang wanita, sebelum sosoknya yang gempal dengan rambut seputih salju, keluar dari dinding labirin sebelah timur. Di belakangnya, seorang pengawal mengikuti.
"Lady Marie ...." Madeline membelalak dengan rasa terkejut karena kedatangan Ibu Robin yang tiba-tiba.
Mendengar itu, Robin berbalik. Tubuhnya yang tegap membuat penghalang dengan berdiri di depan Madeline, melindungi wanita itu dari tatapan Ibu yang memandangnya seperti predator. "Aku sudah mendengar semuanya, Bu, dan aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Madeline lagi. Sudah cukup kemarin kau melakukannya tanpa sepengetahuanku."
Pandangan Lady Marie beralih, dari Madeline kepada anak tertuanya. Netra hijau itu memicing saat bertanya, "Apa saja yang sudah dikatakan wanita berambut merah itu? Apakah dia menghasutmu untuk meninggalkan kastel ini?"
"Madeline bukan wanita seperti itu, yang dia katakan hanyalah hal yang keluar dari mulutmu."
Bibir keriput itu mengerucut, menandakan pemiliknya sedang berpikir keras. "Robin, yang kupikirkan hanyalah kebahagiaanmu, masa depanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TO DESIGN A DUKE
Historical Fiction[AZA Award Winners] [Wattys2021 Short Listed Story] [Wattys2021 Winner - Historical Fiction] Spin-off The Horse Whisperer. Hidup Robin Redford atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Windsor berubah dalam satu malam. Serial kejadian buruk menimpanya...