Hidup itu bagaikan pahitnya kopi dan manisnya susu yang berpadu menjadi satu, memberikan kenikmatan kepada siapapun yang menyeruputnya.
💕💕
Suasana yang menyenangkan, bagaimanapun juga Zahra harus menyambut kedatangan abi dan umi dengan penampilan yang terbaik.
Didepan cermin dia tersenyum menatap pantulan dirinya yang menggenakan baju berwarna biru yang dipadukan dengan kerudung pink bunga.
Ckreek. . .
"Assalamualaikum".
Zahra menoleh ketika mendengar suara ucapan salam yang lembut merambat ditelinganya.
"Waalaikumsalam, umi".
Zahra berlari kecil menuju umi, ingin dia segera meleburkan diri pada pelukan umi, menghirup aroma tubuhnya yang selama ini dirindukannya.
Perlahan dia berbisik menyampaikan kerinduannya ditelinga Khadijah menyiratkan sebuah kabar bahagia yang lama tak terdengar.
Perempuan itu membawa Zahra pergi menemui kiai Azhrof, menghabiskan waktu sekedar bercanda dan menghapus rindu yang membelenggu di ruang tengah.
Rasa bahagia dihati Zahra dia ekspresikan namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama tatkala dia melihat raut wajah nenek yang murung.
Dengan penuh rasa ingin tau dia bertanya tentang alasan kesedihan nenek.
Kiai Arsyad mendekati Zahra dan memeluknya.
"Zahra kan sudah besar, abi dan umi ingin menghabiskan waktu bersama Zahra, Zahra mau kan tinggal sama abi dan umi?".
Bagaikan petir yang menyambar Zahra, entah Zahra harus bahagia atau sedih, dia sangat menyayangi nenek dan tidak ingin berpisah dengannya.
"Nenek juga ikut kan?".
"Tidak sayang, nenek disini mengurus kebun, Zahra tinggal bersama abi dan umi ya, sudah lama sekali Zahra bersama nenek, abi dan umi juga ingin merawat Zahra".
"Tapi nek. . .".
"Sudah, nenek akan membereskan barang barang Zahra".
Air matanya harus seketika, bagi Zahra nenek lah orang tuanya, yang mengenalkan Zahra pada Allah sedangkan abu dan umi, mereka seperti sahabat terdekat bagi Zahra.
Beberapa jam kemudian nenek telah selesai merapikan baju baju Zahra kedalam koper. Dia tersenyum dibalik kesedihannya.
Tangis Zahra semakin menjadi meramaikan seisi rumah nenek.
"Zahra tenanglah, jangan nangis, nanti Zahra masih bisa mengunjungi nenek".
Zahra tetap menangis membuat nenek harus menenangkannya dalam pelukan.
"Nenek harus ikut".
"Jadilah anak yang patuh, pergilah nak doa nenek selalu bersamamu".
Nenek melepas pelukannya dan mengantarkan Zahra hingga masuk mobil.
"Ibu terimakasih telah merawat Zahra, kami pergi bu assalamualaikum".
"Waalaikumsalam". Ucap nenek menjawab salam Khadija.
"Baik baik ya nduk disana, nurut sama perkataan abi dan umi".
Nenek tersenyum menahan butiran air mata yang hendak meluncur membasahi pipinya.
Perlahan mobil bergerak meninggalkan nenek yang masih berdiri di pintu pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Santri
Non-FictionKetika debaran cinta semakin besar lantas pada siapakah perahuku akan berlabuh? Ya Allah jodohkanlah aku dengan kekasih pilihanmu