Malam yang cerah di pesantren Al Ahzaf, angin berhembus bahagia memberi harapan di hari esok.
Zahra duduk sendiri di teras masjid, pandangannya memandang para santri yang hilir mudik di hadapannya. Dia tidak menyangka akan nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya hari ini, akhirnya perahunya berlabuh di dermaga Ali.
Bukankah ini seperti mimpi?, Sekilas dia teringat akan Raihan, ada rasa khawatir menghantui dirinya. Dia memikirkan Raihan yang hijrah, berharap Raihan menemukan kebahagiaan dari hijrahnya.
"Kau tampak bahagia hari ini".
Zahra menoleh melihat sosok orang yang baru saja mengisi pikirannya berada disisinya. Raihan disana bersandar pada pilar masjid sambil melipat tangannya.
Senyuman penuh luka menghiasi wajahnya, dia meminta izin kepada Zahra untuk duduk disampingnya. Zahra mempersilahkannya duduk.
"Akhirnya kita akan menikah di hari yang sama, di waktu yang sama namun_". Sejenak Raihan menjeda kalimatnya, mengamati Zahra yang datar datar saja di buatnya.
"Pasangan kita berbeda". Ada seulas senyum yang dipaksakan di wajahnya.
"betapa bodohnya aku Zahra yang telah mencintaimu, betapa hinanya aku yang telah menyakiti sahabatmu Shofi, dia telah tulus mencintaiku, seharusnya aku membalasnya dengan hati".
Suasana membuat Zahra canggung, dia semakin bingung untuk menanggapi pembicaraan Raihan. Sekali lagi Raihan tersenyum dalam sakitnya, mengamati wajah Zahra yang sebentar lagi menjadi makmum orang lain.
"Selamat ya, semoga kau bahagia". Raihan tersenyum dan pergi dari hadapannya.
Zahra berucap lirih mengulang kata kata Raihan barusan, dia tau betapa sakitnya hati yang mencintai seseorang namun tak terbalaskan.
Langit melukiskan warna cerahnya pada hari, kebahagiaan seolah mengiringi dua insan yang akan bersatu, menebar kebahagiaan di seluruh penjuru Al Ahzaf. Ya bagaimana tidak tiga pengantin sekaligus akan terjadi di Al Ahzaf.
Zahra menghela nafas melihat pantulan dirinya yang menggenakan gaun pengantin kembali, tapi lihatlah orang yang akan bersanding dengannya adalah Ali, sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Zahra.
Dia teringat tentang kisah pernikahannya yang gagal, masih ada kiai Arsyad di acara itu, menyambut pernikahannya dengan wajah yang berseri seri, sekarang semuanya tinggal kenangan mengiringi langkah Zahra menuju pelaminan.
Shofi duduk melamun di kursi, tangannya membelai album foto. Banyak sekali foto usang di dalamnya, foto tentang dirinya dan keluarga kecil yang dirindukannya.
Tiba tiba saja dia menangis melihat foto kecilnya saat wisuda, dikala semua santri didampingi oleh ayah mereka masing masing dan hanya Shofi lah yang di dampingi nenek.
Tiada sosok seorang ayah yang mendampinginya, dia hanya berharap suatu keajaiban hari ini. Kedatangan ayah yang memberi restu kepadanya.
"Shofi apa kau sudah siap?". Teriakan Aminah membuat Shofi segera menghapus air matanya.
Sejenak dia menjawab panggilan Aminah, menyimpan kembali albumnya dan berjalan menuju Aminah.
Matanya menangkap Khodija yang mendampingi Zahra di hari pernikahannya, dia juga melihat Aminah yang mendampingi Aisyah. Dirinya bertanya tanya siapakah yang akan mendampinginya.
Hatinya begitu gugup jika melangkah seorang diri menuju karpet merah yang menuntunnya pada meja penghulu.
Shofi masih terdiam, dia ingin sekali menjerit dan pergi saja. Sebuah jemari meraih lengannya. Shofi menoleh melihat nenek yang merangkulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Santri
Non-FictionKetika debaran cinta semakin besar lantas pada siapakah perahuku akan berlabuh? Ya Allah jodohkanlah aku dengan kekasih pilihanmu