Harapan terbesar dalam hidup perlahan pupus seiring berjalannya waktu, rindu terasa berabad menahan kesunyian hati, membelenggu luka lama yang kian membekas, sejak seorang ayah melangkahkan kaki meninggalkan sejuta kenangan dan berjanji akan kembali, begitu lama janji itu akan ditepatinya.
Hampir dua bulan lamanya di kota Mekah membuat mereka belajar banyak hal. Pagi itu seperti biasa mereka memulai petualangan menyisir keindahan kota Mekah. Shofi duduk manis di taman membaca majalah sambil sesekali menyeruput kopi di tangannya, dia menunggu Raihan dan yang lainnya bersiap.
Seorang lelaki paruh baya tiba tiba datang menghentikan aktivitasnya, dia memberi salam dan duduk dihadapan Shofi. Jika dilihat lagi raut wajahnya indo dan benar saja dia memulai pembicaraan santai menggunakan bahasa Indonesia dengan logat jawa.
"Maaf, bapak siapa ya?". Tanya Shofi memandang manik mata lelaki itu.
"Benarkah kamu Siti Shofia Habsyah putri ibu Kartika?".
"Ya... benar". Ucap Shofi masih bingung.
Lelaki itu menatapnya tajam, ada rasa kerinduan yang tersorot disana sambil sesekali meneteskan air mata.
"Akhirnya aku menemukanmu nak, perkenalkan aku Ibnu sahabat ayahmu. Ayahmu masih hidup, dia mengalami kelumpuhan hingga tidak bisa kembali ke Indonesia".
Shofi membelalakkan matanya tidak percaya. Air matanya menetes mengingat sosok yang telah lama dirindukannya.
"Ayahmu mengalami kecelakaan 17 tahun lalu dan itu membuat ayahmu lumpuh, dan gangguan jiwa. Bertahun tahun aku mencari informasi tentang keluarganya dan alamatnya namun tak kunjung kutemukan dan sekarang kau datang dihadapanku".
Shofi semakin terisak, dia hampir saja menjatuhkan diri namun Raihan datang dan memeluknya.
"Dimana ayahku?". Tanya Shofi memandangnya penuh harap.
"Aku akan mengantarmu pada ayahmu".
Mereka semua pergi ke suatu rumah yang terletak di dekat museum Abdul Raouf Khalil. Mata Shofi menatap seseorang yang berbaring lemah tak berdaya, tiada lagi harapan pada pancaran matanya, bibirnya tak berhenti mengucapkan
"ayah sayang Shofi".Sesekali dia tertawa kemudian menangis.
Air mata Shofi kembali menetes dan duduk disampingnya.
"Kamu siapa?". Tanyanya dengan suara lemah.
"Ayah, ini aku Shofi anak ayah".
"Shofi?... anakku?". Matanya menatap Shofi yang hanya dijawab anggukan dengan Shofi.
"anakku... anakku...". dia memeluk erat tubuh Shofi sambil tersenyum bahagia.
Setelah sekian lama baru kali ini merasakan pelukan hangat sang ayah, suasana haru terjadi disana membuat Raihan juga meneteskan air mata melihatnya.
"Maafkan ayah nak".
Tangisan itu tak dapat lagi di hindarinya, Shofi menatap Raihan yang memijat pelupuknya menahan tangis.
"Ayah, andai kau tau setiap hari aku selalu menantikan kepulangan ayah disaat hari kelulusan yang ku inginkan hanya kehadiran ayah, begitu juga disaat aku menikah". Ucap Shofi lirih dalam pelukannya.
"Kau sudah menikah nak?".
"Ya, aku dan Raihan sudah menikah, aku meminta restu mu ayah". Shofi hendak melepas pelukannya namun tubuhnya tertahan.
Lelaki itu enggan untuk melepas tubuh Shofi, dia tersenyum mengamati Raihan yang memberi salam kepadanya.
"Jangan lepaskan pelukannya nak, jangan khawatir aku sudah merestui hubungan kalian".
"Terimakasih ayah". Entah mengapa Shofi merasakan suasana berubah mencekam seketika, dia mulai bercerita mengungkit masa lalunya untuk menetralkan suasana.
"Ingatkah ayah? Dulu kita selalu bernyanyi, ayah membuat sebuah lagu untukku, hingga tanpa sadar ayah membuat ibu cemburu".
"Kau masih ingat nak?".
Shofi mengangguk. "Aku ingat semua ayah, disaat ibu menghembuskan nafas terakhirnya, dia memintaku untuk bernyanyi lagu ayah".
Suasana semakin terasa mencekam, hawa dingin yang tak biasa mulai menyapa Shofi.
"Bisakah kau bernyanyi untuk ayah?".
Shofi menarik nafas, air mata tak berhenti menetes membasahi pipinya. Dia mulai bernyanyi dengan suara terisak.
"Daun yang kering terbuai angin meninggalkan pohon...
Menyisahkan jejak rindu
Yang semakin membuncah....
Didalam sepi ini ku melihat dirimu...
Bermain di tengah tirai sang hujan...".Lelaki itu sekali kali memejamkan mata di pelukan Shofi, menikmati lagu dari suara khas Shofi.
"Senyum manis mu semakin melekat
Dalam ingatan yang tak bisa ku hapus...
Tak peduli badai menghembus di laut samudera...
Ku kan tetap berada di sisimu...
Genggam tanganku, ku kan mengajakmu berlari meraih bintang...
Genggam tanganku, jangan pernah kau lepaskan...
Kita bersama pergi meraih tujuan...".Berbalut kata lailahaillallah lelaki itu menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Shofi merasakan pelukan merenggang, dia menangis tersedu sedu sambil berucap lirih innalilahi wa innailaihi rojiun.
"Selamat jalan ayah, tunggu Shofi di surga".
Untuk pertama dan terakhir kalinya, dia memeluk ayah diusia dewasa, sakit...
Tapi apalah daya jika Allah memanggilnya untuk segera mengisi surganya.
Alhamdulillah Dear Santri sudah selesai, terimakasih buat kalian yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca dan vote cerita saya, saya mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Santri
Non-FictionKetika debaran cinta semakin besar lantas pada siapakah perahuku akan berlabuh? Ya Allah jodohkanlah aku dengan kekasih pilihanmu