Segenggam harapan yang hilang

3.7K 266 1
                                    

Apalah aku yang lemah tanpa mu wahai Allah, bismillah ku tata hati untuk masa depanku.

💕💕

Beberapa tahun kemudian, kini Zahra telah menginjak usia 19 tahun, keputusannya untuk menjadi seorang pramugari semakin bulat.

Sebentar lagi, dia pasti lulus dari SMA dan melanjutkan sekolah penerbangan, ya begitulah rencana Zahra kedepannya.

"Sudah selesai belajar kak?". Tanya Zain yang berdiri di ambang pintu.

"Alhamdulillah sudah".

"Ditunggu abi dan umi tuh di bawah".

Zain menghempaskan tubuhnya pada kasur di kamar Zahra.

"Ada apa abi dan umi menungguku?".

"Entahlah, kak aku main game disini aja ya".

"Terserah saja, aku turun dulu".

Zahra keluar kamar dan melangkah menuruni beberapa anak tangga hingga menuju kiai Arsyad dan Khodijah yang sedang menunggunya diruang keluarga.

Hatinya berdegup kencang, ini bukanlah pertama kalinya Zahra berhadapan dengan kiai Arsyad dan Khodijah tapi mengapa rasanya dia gugup dan tidak sanggup lagi untuk berdiri.

"Abi. . . dan. . U. .umi. . . Memanggil Zahra?". Tanya Zahra gugup.

"Ya duduklah nak".

Khodijah menepuk kursi di sebelahnya supaya Zahra lebih dekat duduk disampingnya.

Tatapan matanya menunduk tidak berani menatap mata kiai Arsyad.

"Zahra, abi ingin kau menjadi penerus pesantren ini, maukah Zahra melanjutkan sekolah di Al Ahzaf?".

"Ma. . . Maksud abi. . . Abi ingin Zahra sekolah di pesantren abi?".

"Iya nak, Zahra mau kan?".

Zahra tidak bergeming, apakah dia tidak bisa mempertahankan harapannya menjadi seorang pramugari.

"Nak, umi tau cita citamu menjadi pramugari".

Jeda tiga hembusan nafas Khodijah kembali melanjutkan perkataannya.

"Zahra tolong buang jauh jauh mimpimu itu menjadi seorang pramugari, umi takut kehilanganmu karena kamu satu satunya anak perempuan di keluarga ini, sebagian besar pramugari di negara ini pulang tinggal nama".

Khodijah mulai meneteskan air mata ketika wajah Mirza kembali menghantui pikirannya.

"Dulu kakak mu Mirza telah mencapai mimpinya menjadi seorang pilot dan dia mengalami kecelakaan pesawat pada tanggal 8 Maret dan sekarang jasad kakak mu masih menjadi misteri".

Perkataan Khodijah bagaikan panah yang menikam jantungnya, Zahra memalingkan wajah dan mengusap air matanya yang hendak meluncur.

Zahra tak kuasa membendung air matanya seolah tak percaya dengan semua ini, dengan cepat dia berkata.

"Abi, umi, beri Zahra waktu untuk memutuskannya".

Ucapnya lirih sambil berlari menuju kamar.

Dbraakk. . .

Zain yang berbaring di kasur Zahra terkejut dan menatap Zahra dengan beribu pertanyaan. Rona kesedihan itu tertangkap jelas di mata Zain.

"Kakak kenapa menangis?". Dia bertanya perihal kesedihan Zahra.

"Zain".

Zahra berlari memeluk Zain, membuat Zain semakin bertanya tanya.

Dear SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang