Dibalik Penjara Suci

2.6K 203 2
                                    

Kerinduan semakin jelas berjelaga, membelenggu hati yang telah rindu akan keluarga.

Hanya pagar pesantren yang menjulang tinggi. Pembatas para pencari ilmu dan dunia luar. Dibalik penjara suci itu Zahra terdiam di sudut asrama.

Walaupun dia baru saja menginjakkan kaki di Al Ahzaf, namun rasanya sudah rindu bertahun tahun lamanya pada Ar Rahman.

Suasana asrama cukup sepi, Zahra menyambar sebuah bantal dan membawanya ke pojok asrama, air matanya sudah tidak bisa lagi diajak berkompromi. Dia menangis menyembunyikan wajah cantiknya dari dunia.

Kreek. . .

Segera Zahra mengusap air matanya tatkala pintu asrama terbuka. Seorang santri yang jelas lebih muda dari Zahra menatapnya sejenak.

"Kak, kakak menangis?". Tanyanya melihat bengkak di mata Zahra.

"Ah nggak kok, hanya kepedesan saja, ah ya kepedasan".

Satu kebohongan dilakukannya, jelas sekali dia mencari alasan logis supaya tidak ada yang tau kesedihannya.

Atmosfer ruangan tiba tiba saja menjadi canggung, Zahra bersikap biasa aja sambil sesekali menyeka sisa air matanya, tatapannya tertuju pada santri itu yang tengah menuju loker.

Merogoh sesuatu di dalam loker dan mengeluarkannya, sejenak dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. Dia termenung sesekali menatap kalender.

Sepertinya dia menghitung kalender. Beberapa menit kemudian pandangannya beralih pada beberapa lembar uang puluhan. Dia menggeleng dan meletakkannya kembali di dalam dompet.

"Fany, kapan kamu mau bayar iuran?".

Seorang santri tiba tiba saja mendekatinya dan menggebrak pintu lokernya. Zahra terkejut dan memilih untuk diam ditempat, mendengar semua percakapan mereka.

"Maaf teh, Fany masih belum kiriman". Ucapnya dengan nada sedih.

"Hadeuh, jadi kamu gak usah dapat buku ya, entar sisa bukunya teteh balikin ke ustadzah".

Santri itu pergi setelah mengatakannya, menyisahkan tetesan air mata pada diri Fany.

Zahra beranjak dan mendekatinya. "Kamu belum bayar iuran?".

"Iya kak, bulan ini kirimanku telat". Kesedihan senan tiasa mengcover wajahnya.

Zahra membuka lokernya yang berada pas disampingnya. Dia mengambil dompet dan memberikan beberapa lembar uang kepadanya.

"Ini, pakai uang ku dulu ya".

"Gak usah kak".

"Gak apa apa kok, entar kalau sudah kiriman bisa di ganti".

Dia tidak langsung menerima uang Zahra. Menatapnya penuh kepastian tak ingin dia menjadi beban bagi Zahra.

"Kakak yakin? Uang kakak akan cukup sampai kiriman selanjutnya?".

"Insyaallah cukup kok, udah ambil aja". Dia menempatkan uang itu di telapak tangan Fany.

"Terimakasih kak".

Hanya seulas senyuman bahagia melihat kebaikan kecil yang dilakukannya. Setiap santri pasti pernah mengalaminya bukan?, Disaat uang sangat dibutuhkan untuk keperluan, makan pun menjadi irit, kadang pula hingga sampai berpuasa, berharap kiriman segera datang.

Hati semakin cemburu tatkala melihat kawan seasrama baru saja di sambangi keluarganya. Mendapatkan uang dan bisa mengajak teman temannya makan bersama menyantap nasi diatas daun pisang.

"Fany, Zahra, ayo kesini, kita makan bareng". Teriak teteh Fanya.

"Kesana yuk". Ajak Zahra pada Fany.

Teteh Fanya menggelar daun pisang, membagi nasi dan lauk kemudian memanggil teman teman seluruh asrama.

Mereka datang. Bersama sama menyantap nasi dari jemari mereka. Jemari yang kosong tanpa bantuan sendok dan garpu yang sering mereka gunakan di rumah, tapi lihatlah serasa nikmat bukan? Kebersamaan dan solidaritas tercipta ditengah tengah mereka.

Beberapa hari kemudian, Zahra sudah terbiasa dengan hidup barunya, hidup yang sederhana ala santri namun menyimpan banyak kebahagiaan dan solidaritas, yang suatu hari nanti Zahra akan merindukannya dalam kenangan.

"Kak".

Zahra menoleh melihat Fany tersenyum kearahnya.

"Terimakasih ya kak udah membantu Fany bayar iuran, barusan Fany kiriman, ini Fany kembalikan uang kakak".

"Alhamdulillah, aku senang mendengarnya".

Lihatlah wajah bahagia itu, wajah yang berseri ketika yang ditunggunya telah datang.

Fany menarik tangan Zahra dan mengajaknya untuk makan. Entah kapan dirinya akan seperti santri yang lain, bertemu Abi dan umi.

Kemudian menjamu semua teman teman satu asramanya untuk makan bersama, tapi lihatlah kenyataan yang dialaminya. Abi dan umi sibuk dengan pesantren dan acara undangan sehingga jarang menyambanginya.

Bukan karena mereka tidak sayang, hanya saja waktu tidak mengizinkan Zahra untuk sering sering bertemu mereka.

Ali melihat Nathan yang duduk frustasi di pagar asrama. Entah apa yang terjadi sepertinya cowok itu tengah bersedih.

"Kamu kenapa?". Tanya Ali menepuk pundak Nathan.

Nathan hanya menatapnya sekilas dan merasa kehilangan semangat hari ini.

"Kenapa sih? Kiriman telat? Gak ada duit? Gak kerasan? Gak hafalan? Kena Takzir?". Ali mencoba menebak masalah sahabatnya itu

"Bukan mas, kok ya mas nebaknya gitu amat sampai nebak kena Takzir segala".

"Biasanya kan begitu". Ucap Ali dengan santainya disertai senyuman evil.

"Aku capek mas jadi buronan ustad Adam terus, mending aku jadi buronan neng Aisyah aja".

"Pfftt". Ali tak kuasa menahan tawanya.

Memang sih sahabatnya ini sangat bandel hingga kerap mendapat takzir dari ustad Adam selaku kasubag keamanan di ponpes Al Ahzaf.

Nathan melirik Ali yang sepertinya menikmati tawanya. Mungkin dirinya serasa lucu di mata orang lain tapi entah mengapa orang orang tidak mengerti keinginannya, itulah yang berada dipikiran Nathan.

"Kenapa sih?". Ali menghentikan tawanya melihat keseriusan diwajah Nathan.

"Dia telah merebut si Samsul dari loker dan membinasakannya di hadapan ku".

"Samsul?".

"Iya hp aku, kalo di plesetin jadi Samsul". Bibir Nathan memanyun "sakit ati gua dibuatnya".

"Ya salah kamu juga sih, kan tau sendiri peraturan di pondok ini santri dilarang memiliki dan mengoperasikan hp"

"Iya tapi kenapa mas? Aku kan menggunakannya hanya ketika ada keperluan saja".

"Ya tetep aja gak boleh, tuh kan disini udah disediakan wartel. Kamu tau gak? Hp yang kamu miliki itu merupakan setan bagi proses pembelajaran mu, udah fokus aja sama sekolah dan mengaji insyaalah ilmu mu barokah tanpa hp".

"Tapi aku sakit ati mas, si samsul masuk gitu aja ke api".

"Wahai Nathan, redakanlah sakit hatimu dengan dzikir, tenanglah Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih".

Memang yang berat adalah ikhlas. Mengikhlaskan semuanya dan menjadi santri pondok pesantren yang hidup sederhana tanpa pengaruh elektronik.

Tapi percayalah kebarokahan ilmu pasti ada, setiap tetes keringat yang mengucur, setiap derap langkah menjengkal dunia, dan setiap nafas yang berhembus, insyaalah pasti akan menjadi saksi kebaikan di akhirat kelak.

Dear SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang