Ketika Takzir Menyapa Hati

1.9K 165 0
                                    

Semburat warna merah dilangit telah menyapa. Zahra menyilangkan tangan di depan dada memperhatikan jam didinding yang serasa bergerak cukup lama.

Seharian ini full dengan kuliah. Membuatnya bosan dan ingin menyudahi saja pelajaran hari ini.

Teng. . . Teng. . .

"Alhamdulillah". Ucapnya lirih ketika mendengar bel pulang. Semua mahasiswa mengemas buku buku yang berserakan kedalam tas.

Zahra masih tidak beranjak. Ada sebuah benda yang menyembul dari tasnya dan menarik perhatiannya.

Surat itu. Surat misterius yang pernah didapatkannya. Zahra meraihnya dan memperhatikan setiap huruf sangat teliti.

"Neng, saya pulang dulu ya". Seorang santri asal Madura memberi salam pada Zahra. Disana juga ada santri asal Lombok.

"Aku ikut". Zahra segera memasukkan surat itu ke tasnya dan berjalan beriringan dengan santri.

Mereka berbincang bincang di sepanjang koridor kampus. Mempelajari bahasa daerah masing masing.

"Kalau kamu?".

"Kamu, bahasa Maduranya, bekna kalau sesama teman sepantaran neng, tapi kalau formalnya itu kaule".

"Kalau di Lombok neng, kamu itu bahasnya side". Ucap santri asal Lombok yang tak kalah juga.

"Side demma'a?". Ucap Zahra.

Kedua santri itu melongo dan tertawa. "Ya jangan dicampur juga kale neng, demma'a itu bahasa Madura yang artinya mau kemana".

"Heheh maaf, aku pikir itu bahasa Lombok".

"Neng, ada ada saja".

"Zahra bagaimana dengan kuliah mu?".

Suara yang tak asing lagi bagi Zahra menyapanya. Gadis cantik itu membalikkan badan melihat Shofi yang telah berdiri dibelakangnya.

"Neng kita duluan ya". Ucap santri asal Madura.

Zahra hanya tersenyum sambil mengangguk. Tatapannya kembali fokus pada Shofi.

"Alhamdulillah berjalan lancar atas kehendak Allah, namun ada beberapa soal matematika yang masih tidak ku mengerti".

"Mungkin Ali bisa membantumu".

"Ali?". Kening Zahra berkerut.

"Ya, dia sangat mahir dalam matematika". Senyuman shofi mengembang "temuilah Ali, sia pasti akan mengajarimu".

Allahuakbar. . . Allahuakbar. . .

Suara yang menggetarkan kalbu. Mengumandangkan sebuah kata yang indah telah terdengar.

Terucap syukur pada bibir Zahra. Dia mengajak Shofi untuk segera pulang. Mempersiapkan diri memenuhi panggilan sang Khaliq, tempat curhat yang sangat damai bagi seluruh umat Islam.

Para santri berbondong bondong kearah masjid. Memenuhi masjid dan melaksanakan ibadah bersama.

Sehabis sholat para santri berdzikir. Lantunan dzikir mereka menggelegar memenuhi masjid. Hingga selesai berdzikir para santri melaksanakan kegiatan masing masing.

Ada yang mengaji dengan didampingi ketua asrama, ada juga yang hafalan kitab.

Beda dengan Nathan. Dia memojokkan diri, pura pura membaca kitab. Padahal dia sedang merangkai kata didalam surat.

Dear Aisyah.
Jika aku menjadi mubtada bisakah kau menjadi khobarku?. Jika iya aku berharap tidak akan ada Amil Nawasih yang merusak hubungan kita.

Dear SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang