Their father.
____________KETIKA ditanya mengenai jumlah keluarga, aku bisa menjawabnya hanya dengan menghitung jari, maybe less than ten people. Karena Ayahku adalah anak tunggal di keluarganya, jadi aku tidak punya paman atau pun sepupu dari Ayah. Sementara keluarga dari Mama hampir semuanya tinggal di Bandung, dan aku jarang mengunjungi kota itu setelah Mama meninggal.
Aku hanya menyayangkan saja. Katanya keluarga itu tempat pertama untuk pulang. Namun ternyata kata-kata itu tidak berlaku untuk semua orang. Rumah tak lagi menjadi tempat ternyaman untuk menumpahkan segala keluh kesah.
Kenapa Alna selalu berakhir sendirian padahal keluarga dan saudaranya sangat banyak? Termasuk Athaya yang memang memiliki ikatan darah paling kuat dengan Alna.
Entah ada sangkut pautnya dengan pernikahan atau tidak, tapi katanya saudara satu ayah itu lebih kuat dibandingkan saudara satu ibu. Mungkin karena nantinya Athaya juga bisa menjadi wali nikaknya Alna menggantikan posisi Ayahnya.
Sometimes I ask myself, kenapa Athaya tidak mau terang-terangan menunjukan kasih sayangnya sebagai seorang kakak? Kenapa dia memutuskan menjauhkan diri dari adik satu-satunya yang jelas-jelas membutuhkan kehadirannya?
And sometimes I hate myself too, when I want to ask that. Manusia kerap kali terlahir dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dan aku benci ketika aku ingin banyak tahu tentang urusan orang lain tanpa punya empati atau kemampuan untuk membantu. Hanya perasaan sekadar ingin tahu.
Tapi ya ... karena aku hanyalah figuran disini, aku tidak bisa menanyakan dan tidak berhak untuk tahu mengenai masalah keluarga mereka.
Apalagi tentang ayahnya yang menurutku agak misterius itu. Masa iya anaknya sudah dua hari dirawat di rumah sakit, tapi tidak pernah muncul atau memberi kabar sama sekali? Titel "Ayah" yang diberikan anaknya patut dipertanyakan.
"Kak Atha, ngasih kontrak kerja sebagai sekretaris berapa lama, Kak?" tanya Alna ketika Bu Bella dan Bu Tania sudah benar-benar meninggalkan ruangan. Saat itu aku baru selesai menunaikan shalat dzuhur di ruangannya. Mungkin dia meyimak pembicaraan kami tadi.
"Cuma tiga bulan, gantiin Mbak Bella selama cuti aja. Sejak kapan kamu manggil Athaya pake awalan 'Kak'?" tanyaku.
"Sejak kapan Kak Shafira manggil Kak Athaya langsung nama, tanpa awalan Bos?" Dia malah membalikan pertanyaanku. Lalu kami berdua sedikit tertawa mendengar pertanyaan itu.
Sebenarnya sejak dulu jika tidak ada orangnya, aku selalu memanggil Athaya dengan nama. Apalagi kalau sedang bermonolog, tapi kalau sedang di kantor atau sedang situasi formal. Aku cukup tahu diri untuk memanggilnya dengan panggilan formal juga.
"Kakak nggak punya pembenaran untuk langsung memanggilnya nama sebenarnya. Di kantor, dia atasan. Di luar kantor dia lebih tua dari Kakak," jawabku. There's a big age difference between us.
"Kenapa nggak lanjut aja jadi sekretarisnya Kak Atha kalau memang Mbak Bella jadi resign?" tanyanya lagi.
"Sebenarnya Kakak ingin balik lagi ke divisi awal waktu pertama kali masuk Nata Adyatama, tapi atmosfernya udah beda sekarang. Kalau lanjut jadi sekretaris, I don't know how it's gonna be after marriage," jawabku.
"You're getting married?!" tanya Alna terdengar kaget sekali.
"Memangnya kamu mau dia melajang selamanya? Sekretaris juga punya kehidupan pribadinya sendiri kali, Na," jawab orang yang baru saja masuk ke ruangan. Kami berdua sama-sama menoleh ke arah pintu masuk.
Ketika melihat arloji di tangan kiriku sudah menunjukan pukul dua. Aku menyadari kalau Athaya memang harusnya sudah sampai, mengingat Bandung-Jakarta dia tempuh dengan pesawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAF ✔
Romance(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) "Satu shaf shalat dibelakangnya adalah mimpi buruk." Kalimat itu sudah cukup bagi Shafira untuk menggambarkan bagaimana kehidupannnya setelah bertemu dengan seorang Athaya Khalil Adnan. [Spiritual-⚠Romance Act] ...