Bagian 13 : Like A Small Piece Of Dusk

1K 124 5
                                    

Semuanya tepat seperti yang aku pikirkan. Pada akhirnya memang tidak akan ada yang peduli padaku. Aku memang salah karena terlalu berharap pada Jimin hyung padahal mengetahui bahwa dia takut semuanya akan terulang lagi. Aku ingin marah, tapi tidak bisa memaksanya juga. Seharusnya aku memang tidak terlalu berharap. Seharusnya aku tahu jika penantian ini tidak akan berakhir. Seharusnya aku tetap berpura-pura telah membenci mereka. Tapi kenapa rasanya sulit sekali bagiku untuk melakukan itu?

Sudah dua hari berlalu dan selama itu pula Jimin hyung kembali menghilang. Dia bahkan mengabaikan fakta bahwa dialah yang mengatakan jika kami harus sering berkomunikasi. Setelah mengantarku ke rumah sakit hari itu, Jimin hyung tidak pernah mengatakan apapun lagi. Bahkan dia pergi saat aku tertidur, sama sekali tidak meninggalkan salam perpisahan yang bisa kuingat.

Aku pikir lebih baik sejak awal aku tidak bertemu dengannya lagi. Mungkin lebih baik jika hari itu bukan Jimin hyung yang kutemui. Bahkan lebih baik lagi jika hari itu tidak ada yang menolongku. Biar saja aku mati di tengah salju. Aku sudah lelah, sungguh. Di samping rasa sakit akibat kehancuran yang sudah mendekam di ingatan, fakta bahwa tenagaku diperas habis-habisan ketika bekerja sudah cukup membuatku menginginkan kematian.

Aku membenci Tuhan, lebih tepatnya membenci bagaimana dia membuatku selalu menderita. Tidak bisakah Tuhan membiarkanku tertawa sebentar saja? Aku sudah lelah menguras air mata yang tidak ada habisnya ini. Aku sakit, tapi tidak bisa menjerit. Bahkan lolonganku terlalu tidak bertenaga untuk bisa didengar.

Aku tidak tahu bagaimana caraku menjalani hidup setelah ini. Mungkin kembali menyerah kepada takdir yang ternyata begitu membenciku. Aku tidak memiliki kekuatan untuk memberontak. Jika pun ada, aku tidak bisa melawan takdir. Mungkin akan lebih baik jika semuanya tetap seperti ini. Aku takut sedikit perubahan menjadi lebih baik akan kembali menghempasku dalam sekejap.

Pada akhirnya aku akan kembali ke tempat itu, tempatku terkurung hingga saat ini. Aku iri kepada hyungdeul yang bisa lepas begitu saja dari sana. Aku ingin membenci mereka, tapi kenapa tidak bisa? Kenapa aku selalu ingin bertemu dengan mereka?

"Jungkook-ah, kau sudah meminum obatmu?"

Aku hanya menoleh, tapi tidak menjawab sama sekali. Jung hyung yang merasa tidak ditanggapi juga hanya melirikku sebentar sebelum kemudian meletakkan nampan yang dibawanya di nakas. "Kau selalu seperti ini? Aku tidak suka diacuhkan, kau tahu?" ujarnya kemudian.

Aku sebenarnya tidak bermaksud mengacuhkannya. Tapi aku hanya sedang tidak ingin membicarakan apapun. Aku malas bersuara, malas melakukan berbagai hal. Aku hanya ingin diam sebentar karena sudah lelah melakukan berbagai hal. Tapi karena sepertinya Jung hyung marah, jadi aku bersuara, "Hyung, aku harus segera kembali ke Seoul. Waktu liburku dikurangi menjadi seminggu dan aku sudah menggunakannya di Seoul selama dua hari."

Dan ternyata Jung hyung malah bertambah kesal karena aku mengatakan itu. Dia langsung memandangku dengan tatapan mengintimidasi seolah dia akan berkata 'aku akan memakanmu jika kau tidak menurut' meskipun dia tidak mengatakan apapun. Sedetik kemudian helaan nafasnya terdengar. "Kau belum benar-benar sembuh, Jungkook-ah. Berhenti memikirkan pekerjaan saat kau sedang sakit." ujarnya.

"Tapi kenyataan memaksaku terus memikirkannya. Aku tidak bisa menambah waktu, hyung. Itu hanya akan memberiku banyak masalah. Lagi pula sekarang aku sudah cukup sehat." balasku.

Jung hyung terdiam, memandangku dengan tatapan sendu. Dan aku sangat tidak menyukai tatapan semacam itu. Benar-benar mengganggu. "Kau selalu memaksakan diri seperti ini? Kenapa tidak pergi saja jika kau merasa tidak nyaman?" tangannya.

Aku tersenyum tipis, mendadak mengingat kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin kulupakan. "Jika bisa, aku akan pergi. Kemana pun itu, aku akan pergi."

Aku tak tahu bagaimana reaksi Jung hyung selanjutnya. Setelah mengatakan itu aku langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela dan terdiam kembali. Setidaknya aku mendengar dia menghela nafas lalu mengatakan sesuatu—meskipun aku sama sekali tidak mendengarkan—lalu beranjak pergi dari kamarku.

Sementara itu aku yang selanjutnya menghela nafas. Aku tidak tahu apa alasanku melakukan itu atau apa yang kudapat setelah melakukannya, tapi itu yang terjadi. Hingga tiba-tiba pening mengambil alih perhatianku dan membuatku langsung menyentuh pelan pelipisku sebagai reaksi atas rasa sakit yang mendadak.

Kupikir sakit itu akan hilang seiring waktu berjalan, tapi hingga beberapa menit berlalu pun aku masih bisa merasakan denyutan menyakitkan yang terus menghantam kepalaku. Dengan cepat aku menyerah dan segera membaringkan tubuhku lalu menutup mata.

Meskipun aku berharap akan segera tidur—agar sakit itu hilang—atau bahkan pingsan, tapi aku tetap terjaga dengan serangan rasa sakit yang tak kunjung berhenti. Entah membutuhkan berapa lama untukku berhasil pergi dari kesadaranku sendiri. Yang kuingat hanya bayangan sialan yang  terus mengingatkanku pada kenyataan menyakitkan kembali terputar dalam ingatan tepat sebelum semuanya berubah menjadi sepenuhnya hitam.

***

Hari selanjutnya aku benar-benar bersiap untuk kembali ke Seoul. Tidak banyak yang kulakukan karena ternyata semua barangku telah dirapikan oleh eomma. Katanya Jung hyung yang mengatakan jika aku akan kembali hari ini agar aku tidak mendapat banyak masalah. Jadilah eomma langsung merapikan barang-barangku seperti ini.

Sebenarnya aku tidak ingin merepotkannya. Tapi karena eomma melakukannya saat aku sedang tidur—atau mungkin pingsan—jadi aku tidak memiliki kesempatan untuk mencegahnya. Lagi pula eomma tidak akan membiarkanku melakukannya dengan alasan aku masih sakit. Memang benar sih, aku masih merasa sakit. Tapi mana mungkin aku mengakuinya dan membuat eomma cemas lagi. Jadi aku hanya bisa menyangkal ucapannya meskipun itu memang benar.

Aku berniat untuk menaiki bus, tapi tiba-tiba Jung hyung menghadangku. Dia mengatakan jika aku belum cukup sehat untuk pergi sendiri—dan diam-diam aku benarkan dalam hati—lalu memaksa untuk mengantarku. Meskipun begitu akhirnya bukan Jung hyung yang mengantar, tapi appa.

Jadi beginilah sekarang, aku di dalam mobil bersama appa dalam perjalanan ke Seoul. Tidak banyak yang terjadi selama perjalanan karena nampaknya appa sedang cemas saat melihatku masih pucat dan akhirnya membiarkanku tertidur dalam perjalanan. Tapi aku terbangun setelah menempuh setengah jarak ke Seoul dan tidak bisa tertidur lagi.

"Appa, aku terus memikirkannya. Bukankah hari ini appa harus bekerja?" tanyaku setelah membiarkan keheningan terus menguasai suasana di antara kami untuk sekian lama.

Appa menoleh singkat untuk menatapku sebelum kemudian kembali mengalihkan fokusnya ke jalanan. "Selama kau di rumah appa tidak memiliki banyak waktu untuk bersamamu. Sekarang kau tiba-tiba pergi lagi dan appa masih belum melakukan apapun denganmu. Setidaknya sekarang appa bisa menghabiskan waktu bersamamu dalam beberapa jam perjalanan. Jadi tidak perlu memikirkan pekerjaan, oke?" ujarnya.

Aku hanya mengangguk singkat sembari memaksakan seulas senyum. Berusaha mengabaikan pening yang belum sepenuhnya hilang aku berucap, "Aku akan berusaha untuk pulang ke Busan jika mendapat libur. Maaf karena selama ini aku tidak pernah kembali."

Appa menggeleng lalu melempar senyum menenangkan. "Gwenchana, appa mengerti perasaanmu. Yang penting kau baik-baik saja selama di sana, jadi appa tidak perlu mencemaskanmu. Kau mengerti?"

Aku kembali mengangguk, mengiyakan ucapan appa. Kemudian aku bisa melihat senyum appa yang seolah melepas kegelisahannya. Tapi justru setelahnya aku merasa bersalah. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa hidup baik atau tidak. Aku hanya tidak ingin membuatnya memikirkan terlalu banyak hal. Hidupku terlalu menyedihkan untuk bisa dibagi kepada mereka. Biar saja aku yang menderita sendirian, mereka tidak perlu mengetahui apapun.

 Biar saja aku yang menderita sendirian, mereka tidak perlu mengetahui apapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Spring Day [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang