“Wah, ternyata banyak sekali yang berubah di sini.”
Aku tersenyum kecil. Ternyata tidak hanya aku yang mengatakan itu. Memang benar jika lingkungan sekitar rumahku, bahkan rumahku sendiri berubah banyak. Sudah kubilang, aku bahkan tidak mengingat tempat ini sebagai tempat yang pernah aku kunjungi. Sungguh ini berubah terlalu banyak.
“Aku pikir Busan secara keseluruhan tidak berubah banyak. Bahkan lingkungan rumahku masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Aku tidak mengerti mengapa lingkungan rumahmu berubah sedrastis ini. Jika aku tidak benar-benar mengingat letaknya, maka kita tidak akan sampai di sini kan?”
Benar sekali, hyung. Aku kan sudah tidak mengingat apapun tentang tempat ini. “Aku terkesan karena kau bisa mengingat semuanya, hyung.” ujarku sambil mengembangkan senyum.
“Tapi semuanya benar-benar berubah.” ucapnya sambil menoleh ke arahku. “Jadi setidaknya kau mengingat letak rumahmu, kan?” dia kembali bertanya, memastikan. Tapi maaf, hyung. Sebenarnya aku tidak ingat sama sekali. Justru karena itulah aku memujimu karena bisa mengingat semuanya.
“Kau tidak ingat, ya.” akhirnya Jimin hyung menyadari ekspresi wajahku. Sementara aku hanya meringis melihat tatapannya.
“Jung hyung masih belum menikah?”
Kenapa tiba-tiba dia menanyakan itu?“Aku rasa dia masih ingin sendiri. Jika dia menikah, maka dia akan sering meninggalkan istrinya. Dia kan sangat sering pergi entah kemana untuk memotret.” jawabku.
Jimin hyung melihatku dengan tatapan tak percaya sementara aku malah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia menatapku begitu seolah sangat tidak mempercayaiku. “Kau sama sekali tidak bertanya kepada Jung hyung, kan?” dia mengatakan itu dengan yakin, seolah aku memang akan mengiyakan. Yah… walaupun memang itu kenyataannya.
“Aku merasa tidak perlu menanyakannya.” jawabku dengan canggung. “Bagaimana kalau dia mengira aku sedang mendesaknya?” lanjutku menyuarakan apa yang aku pikirkan. Sebenarnya aku pasti akan merasa begitu jika ada yang menanyakan kapan aku akan menikah. Ayolah, umurku masih muda. Aku pasti akan menjawab seperti itu.
“Sudah sangat lama, tapi pemikiranmu masih tidak berubah, ya.” kali ini Jimin hyung mengatakan itu sambil memandangku dengan tatapan jengah. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi apa aku boleh merasa tersinggung? “Jungkook-ah, sekali-kali kau harus sedikit peduli pada keluargamu.” katanya kemudian.
“Aku peduli kok.” aku buru-buru mengatakan itu, merasa jika apa yang dikatakan Jimin hyung tidak benar.
“Kalau begitu tanyakan saja nanti, ya.” kata Jimin hyung dengan senyum jahil.
Sebenarnya dia ingin memperalatku, ya? Tapi benar juga sih. Apa sebaiknya aku tanyakan saja kepada Jung hyung? Apa sikapku kepada Jung hyung memang terkesan cuek? Berarti kepada eomma dan appa juga? Aku tidak mengerti. Mungkin saja begitu.“Itu rumahmu, kan?”
Aku menoleh ke arah Jimin hyung, kemudian ke arah pandangannya. Benar, itu memang rumahku. Dalam hati aku merasa kecewa karena pasti Jimin hyung akan segera pergi berhubung tadi dia terlihat buru-buru. Bahkan dia ditelepon lagi saat dalam perjalanan kemari.
“Benar, hyung.” jawabku tanpa nada. Aku benar-benar tidak rela jika harus membiarkan Jimin hyung pergi begitu saja. Kami sudah lama tidak bertemu, rasanya aku ingin bersama dengannya sedikit lebih lama.
“Maaf. Jungkook-ah. Aku harus pergi.”
“Ah, iya.” sebisa mungkin aku tidak memperlihatkan wajah kecewa. Semuanya aku tutupi dengan senyum khas yang memang sering aku tunjukan. Rasanya aku menjadi kecewa pada diriku sendiri. Pada akhirnya aku harus membohongi Jimin hyung dan menyembunyikan perasaanku.
“Aku akan menemuimu di lain waktu. Jangan kecewa seperti itu.”
Hyung, jangan mengatakan itu. Aku takut.
Aku sering mendengar kata itu dari banyak orang. Aku selalu merasa takut setiap kali ada yang mengatakan itu. Pasalnya mereka tidak akan datang lagi, seberapa keras pun aku mencoba mengenyahkan pikiran itu. Aku tahu tidak akan ada yang kembali. Semuanya akan pergi meninggalkanku. Di saat itu aku hanya bisa diam dan termenung. Semua kerinduanku jatuh seperti salju. Tapi salju akan mencair saat musim semi datang. Apa rasa ini juga akan hilang saat itu?
"Hubungi aku, ya. Sampai jumpa."
Jimin hyung tersenyum lalu berbalik dan berjalan menjauh. Aku hanya diam dan memperhatikan punggungnya yang terlihat semakin kecil hingga akhirnya benar-benar hilang ketika dia berbelok di persimpangan jalan.
Aku menghela nafas. Ya, benar. Aku bisa bertemu dengan Jimin hyung. Rasanya senang, tapi juga sedih di saat yang bersamaan. Pertemuanku dengannya hanya sebentar dan mungkin itu tidak akan terjadi lagi.
"Jungkook-ah, cepat masuk! Kau akan kedinginan!"
Mendengar itu membuatku spontan menoleh. Jung hyung menyadarkanku bahwa tubuhku mulai mengigil kedinginan. Aku segera berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti hyungku itu. Tapi dinginnya benar-benar masih membekas, tubuhku tidak mau berhenti menggigil.
"Astaga! Kenapa kau malah berdiri di luar, sih? Ganti bajumu! Ah, tidak. Mandilah! Kau bisa berendam di air hangat." kata Jung hyung sembari membantu melepaskan jaket hangatku lalu mendorongku agar melakukan apa yang dia katakan.
Baiklah, awalnya aku ingin menurutinya. Tapi saat aku sampai di kamar tiba-tiba kakiku lemas dan aku tersungkur begitu saja. Ah, aku lupa. Tadi aku bahkan hampir pingsan saat bertemu dengan Jimin hyung. Aku harus sadar jika belum benar-benar sembuh. Seharusnya aku mendengarkan eomma dan tidak pergi ke luar.
Aku mencoba menetralkan nafasku yang mulai terasa sesak. Dengan sisa kekuatanku mencoba bangkit untuk sekedar membawa tubuhku sebelum kemudian melemparkannya ke atas kasur. Tapi sialnya aku tidak tidak bisa melakukannya.
"Hyung..." aku menyerah dan mencoba memanggil Jung hyung yang pasti berada tak jauh dari kamarku. Semoga saja dia mendengar panggilanku.
"Hyung, jebal..."
"Ne? Jungkook-ah? Kau kenapa?" akhirnya Jung hyung menyahut dari balik pintu yang tertutup.
"Hyung..." aku tidak memiliki tenaga lagi.
Pintu terbuka dan sosok Jung hyung muncul setelahnya. Dia nampak terkejut saat melihatku jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia menghampiriku dan membantuku duduk di tepi tempat tidur.
"Kau merasa sakit?" tanyanya kepadaku.
"Kepalaku sakit sekali." aku menjawab dengan jujur. Lagi pula tidak ada gunanya berpura-pura di saat seperti ini.
"Aku akan menelepon dokter."
Aku menahannya saat Jung Hyung berbalik hendak pergi—mungkin mengambil ponselnya. "Tidak perlu." Ya, benar. Ini sudah biasa. Aku sama sekali tidak memerlukan dokter. Sebentar lagi rasa sakit ini pasti akan hilang.
"Jungkook-ah, lebih baik kau diam dan biarkan aku melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Jangan keras kepala! Kau membutuhkan dokter. Mengerti, kan?" kata Jung hyung dengan penuh penekanan. Kemudian tanpa menunggu respon dariku, Jung hyung pergi begitu saja.
Akhirnya maknae memang harus menurut. Baiklah, aku harus mengakui itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day [END]
Fiksi Penggemar[방탄소년단 x 전정국] Ini adalah kisah tentang kerinduan seseorang pada sebuah kebahagiaan. Mengenai bagaimana dirinya menjalani kesunyian hatinya dan tentang keteguhannya dalam mencari alasan mengapa dia harus menanti. Jeon Jungkook harus terpisah dari ena...