Bagian 14 : That Floats In The Air

995 121 14
                                    

Setelah memastikan bahwa appa telah pergi, aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur. Mataku memejam erat, mencari toleransi atas pening yang lagi-lagi menggangguku. Padahal keinginanku hanya sekadar terbebas dari rasa sakit ini sejenak, tapi kenapa rasanya sulit sekali?

Apa lagi yang akan kulakukan setelah ini? Aku tidak yakin bisa beraktivitas normal dalam kondisi seperti ini. Aku tidak gila dan tidak ingin membunuh diriku sendiri dengan berkeliaran saat sakit. Tapi jika aku tidak bekerja mungkin aku akan mendapat banyak masalah. Memikirkannya saja sudah membuatku semakin sakit.

Aku mendudukkan diri lalu memandang isi kamarku sekilas. Sepertinya Jieun noona benar-benar datang dan membersihkan rumah ini. Aku tidak yakin jika dia melakukannya sendiri. Diva negeri melakukan itu untuk remahan roti sepertiku? Yang benar saja. Aku tidak akan mempercayai hal semacam itu. Dia pasti membawa seseorang untuk melakukannya.

Tapi semua barang di sini tertata seperti sedia kala. Jika aku tidak memeriksa bahwa tidak ada debu sedikitpun yang menempel, aku pasti berpikir jika Jieun noona sama sekali tidak menggubris ucapanku tentang merapikan rumah. Tapi ini memang bersih dan rapi, bahkan semua benda tidak bergeser sedikitpun. Ah, kecuali rak buku yang berputar dua puluh derajat ke kanan.

Saat aku sedang berpikir tiba-tiba terdengar bel pintu yang menggema keras di seluruh ruangan—aku berani bertaruh jika itu adalah Jieun noona. Aku segera berdiri dan berjalan menuju pintu utama. Dan benar saja, Jieun noona yang berdiri di sana dengan senyum lebarnya—yang biasanya berhasil mengalihkan duniaku—sembari menyodorkan kantong kertas kecil kepadaku.

Aku menerima kantong kecil itu sebelum kemudian membuka pintu lebar-lebar dan membiarkannya masuk sebelum aku kembali menutup pintunya. Aku sempat heran kenapa dia bisa tahu jika aku sudah pulang. Tapi ketika menyadari bahwa dialah yang mengajukan permohonan cuti untukku, maka aku menepis pemikiran itu sesegera mungkin. Sepertinya aku harus mengatakan kepadanya jika aku memerlukan waktu libur yang lebih lama.

"Jungkook-ah, kau terlihat masih sakit. Mau kubantu mendapatkan izin libur lagi?" tanya Jieun noona setelah menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu.

Aku ikut duduk di sana lalu meletakkan kantong kertas yang diberikan oleh Jieun noona ke atas meja. "Aku baru ingin memintamu melakukan itu, noona." ujarku langsung, sama sekali mengabaikan tatapan jengah Jieun noona ketika mendengarnya.

"Kau tahu jika aku bisa mendapatkan izin untukmu bahkan tanpa alasan kau sakit. Jadi berhenti sakit jika itu hanya alasan agar kau bisa mendapatkan libur." balasnya dengan nada serius.

Aku mengendikkan bahu lalu membuat tubuhku bersandar ke sofa. "Pertama, noona, kau tahu jika aku masih sakit. Kedua, aku tidak suka sakit dan tidak akan menggunakannya untuk alasan agar mendapatkan libur. Lagi pula ada kau di sini, untuk apa jika tidak ku manfaatkan. Ketiga, aku ingin mendapatkan libur lagi. Tapi aku akan mendapat masalah jika terlalu banyak meninggalkan pekerjaan. Bisa-bisa pekerjaanku menjadi menumpuk karena itu. Jadi kau tidak perlu memintakan izin untukku."

"Entah kenapa aku tidak suka mendengar kalimat 'ada kau di sini, untuk apa jika tidak ku manfaatkan'. Apa kau serius ingin memanfaatkanku? Itu jahat sekali, Jungkook-ah."

"Aku tidak keberatan bahkan jika kau menganggapnya seperti itu, noona." ucapanku langsung mendapat pelototan dari Jieun noona. Tapi kemudian dia hanya menghela nafas lalu fokus pada ponselnya.

"Oh ya, kau tidak ingin melihat barang yang kubawa untukmu?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari benda segi empat yang dipegangnya.

"Haruskah?"

Jieun noona berdecak kesal lalu memandangku dengan tatapan mengintimidasi. Itu saja sudah cukup untuk membuatku akhirnya menghentikan aksi membuatnya kesal. Dia bisa sangat menakutkan jika sedang marah. Jadi aku sama sekali tidak ingin mengganggunya jika dia sudah kesal.

Aku mengambil kantong kertas yang masih tergeletak di atas meja lalu melihat isinya. Sekadar memberi tahu, aku melakukan itu karena Jieun noona terus memelototiku. Aku pikir dia membawa sesuatu yang tidak berguna seperti notebook—yang katanya dibelikan oleh managernya tapi ternyata salah—seperti beberapa minggu yang lalu. Tapi ternyata—untuk pertama kalinya—dia membawa barang yang berguna untukku.

"Aku melihatnya di dekat lokasi shooting. Kupikir kau akan menyukainya, jadi kubeli." Jieun noona bersuara sebelum aku sempat berkomentar. Tapi sepertinya dia sudah tahu jika aku menyukainya.

Sebuah kamera yang sudah lama kuinginkan. Aku tidak akan menjelaskan lebih detil, yang jelas aku menyukainya. Yang aneh adalah bagaimana mungkin Jieun noona memberiku barang seperti ini?

"Dari mana kau tahu jika aku menginginkan kamera ini, noona?" tanyaku antusias.

"Aku mengetahui semuanya."

"Oh, perasaanku tidak enak mendengarnya."

Jieun noona menatapku jengah, tapi aku sama sekali tidak bereaksi. "Biar kuperjelas, Jungkook-ah, aku bukan penguntit." ujarnya.

"Aku juga tidak mengatakan bahwa kau adalah penguntit."

"Terserah."

Aku tersenyum tipis lalu meletakkan kamera itu di tempat semula. "Ngomong-ngomong, noona, terima kasih. Kau begitu baik kepadaku, padahal aku tidak pernah melakukan apapun untukmu." ucapku.

Jieun noona mendongak dari ponselnya, menatapku. Dia terdiam sejenak, seolah ragu atas perihal yang ingin dikatakannya. "Sebenarnya kau anak baik, Jungkook-ah. Aku hanya tidak tega melihatmu bekerja terlalu keras hingga terus-terusan sakit." ujarnya.

Dia berhenti berkata, tapi aku terdiam karena sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu yang lain. "Lagi pula ada seseorang yang memintaku untuk mengawasimu."

"Jadi kau bekerja untuk penguntit, noona?"

Jieun noona memukul pelan bahuku, tak terima karena sedari tadi dihubung-hubungkan dengan penguntit. "Sudah kubilang bukan penguntit, bocah. Kenapa kau sulit sekali diberitahu?" kesalnya.

Aku tertawa kecil atas reaksinya. Terkadang menggoda Jieun noona memang menyenangkan. "Aku hanya bercanda, noona. Jadi siapa yang memintamu untuk mengawasiku?" tanyaku.

"Hmm, kenapa aku harus memberitahumu?"

"Karena kau sedang menguntitku."

Aku segera menghindar ketika dia akan memukulku lagi. Aku menjulurkan lidah, mengejeknya karena tidak berhasil menyentuhku. Sementara dia berdecak kesal karenanya. Masih dengan wajah kesal dia berkata, "Aku sedang menggarap lagu baru dengan produser yang sedang naik daun. Dia yang memintaku melakukannya sejak awal. Kau tahu siapa itu?"

"Tentu saja tidak, noona." jawabku yakin. Perkara comeback dan kegiatan kariernya tidak terlalu kuketahui. Aku tidak tertarik dengan dunia itu lagi. Aku hanya ingin pergi. Tapi aku sedikit tertarik dengan orang yang dimaksud Jieun noona.

"Kau mengenalnya." kata Jieun noona lagi.

"Siapa?"

"Meskipun sedang naik daun dan begitu terkenal karena lagu-lagu ciptaannya, dia tidak pernah memublikasikan dirinya karena orang-orang pernah melabelinya sebagai orang yang gagal. Semua orang memanggilnya Min PD-nim." Jieun noona menjeda sejenak sembari memperhatikan reaksi yang kuberikan. "Kau akan mengenalnya dengan nama Suga."

Mataku membola sempurna. Suga hyung?

 Suga hyung?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Spring Day [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang