"Minum obatmu terlebih dahulu setelah itu tidurlah lagi."
Aku sempat menghela nafas sebelum kemudian mengangguk mengerti. Padahal aku sedang kesal kepada Jieun noona. Dia terus memaksaku ini dan itu sedari tadi. Itu menyebalkan, asal kau tahu. Tapi jika aku membantah, maka dia pasti akan menjadi semakin cerewet.
"Bukankah seharusnya kau bekerja, noona?" tanyaku memastikan. Kali ini bukannya ingin mengusirnya. Aku hanya ingin tahu apakah tidak apa-apa jika dia meninggalkan pekerjaannya hanya untuk merawatku seperti ini. Jujur saja aku merasa bersalah karena merepotkannya. Jika aku tahu akhirnya akan menjadi seperti ini, maka lebih baik aku pergi ke rumah sakit dari awal.
"Aku sudah izin untuk beberapa hari ini. Kau tidak perlu mencemaskan hal itu. Yang perlu kau lakukan hanya beristirahat lalu cepatlah sembuh." sambil mulai mengambil dua tablet obat yang berbeda dari dalam wadah, Jieun noona mengatakan itu.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri, noona."
"Oh ya?" Jieun noona memandangku dengan tatapan tak percaya. "Kau bahkan langsung pingsan saat aku meninggalkanmu. Jangan membuatku merasa bersalah karena meninggalkanmu begitu saja dalam keadaan seperti ini." lanjutnya seraya menyodorkan dua tablet obat kepadaku.
Akhirnya aku hanya menurut kemudian mengambil obat yang disodorkannya. Setelah aku menelannya sekaligus Jieun noona langsung membantuku meminum segelas air yang sudah disiapkannya. Setelah melakukan semua yang diperintahkannya aku langsung berbaring dan kembali memejamkan mata. Aku tahu jika lebih baik tidak merepotkannya lebih lama lagi.
Aku sudah hampir terlelap saat tiba-tiba dering keras telepon mengagetkanku hingga aku membuka mata saat itu juga. Ketika aku menoleh Jieun noona tidak ada di ruangan ini. Ponselku yang berdering dengan sangat keras. Menyebalkan sekali, bukan? Aku harus mengatur ponselku agar tidak berdering terlalu keras saat menerima telepon.
Dengan menghela nafas aku bangkit dan menggapai benda pipih yang terus berteriak minta dijawab itu. Saat aku melihat siapa yang menghubungiku, nama Jung hyung menari-nari di sana. Seketika itu pula aku teringat hal yang sempat aku lupakan. Seharusnya aku melihat apakah Jung hyung menghubungiku atau tidak sejak kemarin. Dia pasti mencari-cariku karena sangat sulit dihubungi. Aku segera menekan ikon terima dan seketika itu pula terdengar suara familiar yang sudah sering kudengar.
"Yeoboseyo? Jungkook-ah, apa itu kau?"
Benar, kan? Dari suaranya saja aku sudah tahu jika dia sangat mencemaskanku. "Ini aku, eomma." jawabku dengan nada menyesal.
"Kemana saja kau dari kemarin? Hyungmu terus menelepon, tapi kau tidak menjawabnya. Apa kau baik-baik saja?"
Haruskah aku memberitahu eomma jika aku sedang sakit? Rasanya itu hanya akan membuatnya semakin cemas. Lagi pula aku hanya demam. Eomma tidak perlu mengetahuinya, kan? Aku juga tidak ingin menyembunyikan ini, tapi aku akan merasa bersalah jika dia mencemaskanku. "Aku baik-baik saja, eomma." jawabku dengan nada biasa, sama sekali tak membiarkannya mengetahui keadaanku yang sesungguhnya.
"Syukurlah jika begitu."
Maafkan aku, eomma. Tapi aku tidak ingin membuatmu cemas.
"Apa kau tidak ingin pulang ke sini? Bukankah sudah lama?"
"Ah..."
Bagaimana, ya? Rasanya aku masih tidak mau meninggalkan Seoul. Bahkan hingga saat ini aku masih berharap semoga akan ada saat di mana salah satu hyung yang datang ke kota ini dan aku bisa 'dengan tidak sengaja' bertemu dengannya. Mengapa aku berpikir begitu, ya?
Tapi karena aku tidak pernah pulang ke Busan, eomma menjadi sering datang ke Seoul untuk menemuiku. Aku merasa tidak enak kepadanya jika dia yang terus mengunjungiku. Bukankah seharusnya aku tidak membuatnya melakukan itu? "Kurasa aku akan ke sana. Ketua manager memberi libur kepadaku selama dua minggu." akhirnya aku mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day [END]
Fanfic[방탄소년단 x 전정국] Ini adalah kisah tentang kerinduan seseorang pada sebuah kebahagiaan. Mengenai bagaimana dirinya menjalani kesunyian hatinya dan tentang keteguhannya dalam mencari alasan mengapa dia harus menanti. Jeon Jungkook harus terpisah dari ena...