Bagian 10 : To End This Winter

1.1K 145 0
                                    

Bisakah aku mempercayai diriku sendiri? Sekarang Jimin hyung berada di hadapanku. Benarkah itu? Mataku tidak sedang berbohong, kan? Otakku tidak bermasalah, kan? Padahal meskipun aku selalu mengharapkannya, aku selalu menganggap hal ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Tapi kenyataannya sekarang Jimin hyung benar-benar ada di hadapanku. Rasanya seperti musim dingin berakhir begitu saja.

"Jadi apa kau baik-baik saja?"

Aku terpana saat melihat tatapan cemasnya yang tertuju padaku. Sudah lama sekali sejak aku tidak bisa melihat tatapan itu. Aku benar-benar tidak menyangka jika ini akan terjadi. Orang yang ada di hadapanku ini benar-benar Jimin hyung, kan?

"Jungkook-ah, kau benar-benar tidak ingin ke rumah sakit?"

Ayolah, Jungkook-ah. Kau tidak bisa terus-terusan diam di hadapan Jimin hyung. "Aku baik-baik saja, hyung. Tidak perlu ke rumah sakit." jawabku atas pertanyaannya itu.

"Tapi kau benar-benar terlihat buruk. Aku akan mengantarmu. Ayo pergi saja." kata Jimin hyung masih membujukku. Ini benar-benar mengingatkanku saat kami masih bersama. Meskipun hanya sebentar, tapi mereka selalu baik kepadaku. Mereka pasti akan saling mencemaskan satu sama lain.

"Dari pada itu aku ingin mengatakan sesuatu, hyung."

Aku tidak memikirkan bagaimana reaksi Jimin hyung sebelumya. Tapi sekarang dia malah terdiam sambil menatapku. Apa maksudnya? Entahlah. "Katakanlah. Aku akan mendengarkan." katanya kemudian.

Aku tersenyum kecil kemudian berpikir. Dari mana aku harus memulainya? "Selama ini Jimin hyung berada di Busan, kan? Apa yang hyung lakukan?" pada akhirnya aku malah bertanya.

"Aku? Setelah aku kembali ke sini tempat les Tariku dulu menawariku untuk menjadi pelatih. Aku sedang tidak ingin banyak berpikir saat itu. Lagi pula dengan menari aku merasa jauh lebih baik. Selain melatih anak-anak menari tidak ada yang istimewa." jawabnya.

Jadi selama ini Jimin hyung melakukan hal yang disukainya, ya. Kalau begitu selama ini dia pasti bahagia, kan? Syukurlah kalau begitu. "Apa masih berhubungan dengan yang lain?" tanyaku lagi.

"Ah, awalnya tidak ingin menghubungi mereka. Belakangan ini aku mencoba menghubungi Taehyung. Tapi sepertinya dia mengganti nomor teleponnya." katanya dengan nada kesal bercampur kecewa. "Oh ya, nomor teleponmu masih aktif kan?" lanjutnya bertanya kepadaku.

"Ah, masih kok."

"Baguslah. Lain kali aku akan menghubungimu." kata Jimin hyung dengan senang.

"Kenapa kau tidak mencoba menghubungiku sejak dulu, hyung?" ah, apa yang aku katakan?

Jimin hyung sempat terdiam sejenak sebelum kemudian berkata, "Aku takut sebenarnya kalian sudah tidak ingin diganggu lagi. Sejak aku mencoba menghubungi Taehyung dan menyadari jika dia mengganti nomornya aku mulai berpikir jangan-jangan kalian sudah tidak ingin berhubungan satu sama lain." Jimin hyung tertawa kecil, tapi terdengar hambar. "Aku tidak ingin mengganggu."

Begitu, ya? Aku juga merasakan itu. Berbagai prasangka seperti jangan-jangan para hyung sudah bahagia dengan kehidupan barunya dan tidak ingin diganggu, jangan-jangan para hyung sudah melupakanku, jangan-jangan hanya aku yang ingin bertemu dengan mereka... Itu selalu menghantuiku.

Aku ingin menghubungi para hyung terlebih dahulu. Tapi akhirnya kekhawatiranku tentang reaksi mereka membuatku takut untuk melakukannya. Pada akhirnya aku hanya diam dan memendam semua yang aku rasakan seorang diri. Pada akhirnya aku tetap tidak ingin menerima fakta bahwa mungkin mereka akan menganggapku sebagai pengganggu.

Bagaimana jika aku hanya akan mengingatkan para hyung pada masa-masa buruk kami? Bagaimana jika aku hanya akan membuat mereka merasa sedih lagi? Setiap kali aku meyakinkan diri untuk menghubungi mereka, kekhawatiran itu selalu berhasil membuatku memilih untuk tidak melakukannya.

"Karena kita sudah bertemu, aku ingin kita sering berkomunikasi setelah ini. Jangan bosan mendapat pesan singkat dariku, ya." kata Jimin hyung menghilangkan suasana buruk yang sempat menyusup di antara kami.

Aku tersenyum kecil. Rasanya senang saat menyadari jika penantian yang aku lakukan selama ini tidak sia-sia. Jika aku tahu akan bertemu Jimin hyung di Busan, maka aku akan pulang ke sini sedari dulu. Tapi jika aku berada di Busan sejak lima tahun yang lalu, apa aku akan benar-benar bertemu Jimin hyung, ya?

"Jungkook-ah, aku masih khawatir. Kau benar baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." nada suaranya saat mengatakan itu benar-benar kental akan kekhawatiran. Dia benar-benar membuatku berpikir jika.... ah, sudahlah.

"Aku baik-baik saja, hyung." lagi-lagi aku memilih untuk mengatakan itu.

Jimin hyung menghela nafasnya sebelum kemudian berkata, "Kau ini memang tidak pernah mendengarkan orang lain, ya. Sudah kubilang katakan saja jika kau sakit. Sikapmu ini benar-benar membuat cemas."

Ah, benar juga. Rasanya kepalaku berat sekali. Pandanganku memburam lalu kembali normal dan itu terjadi berkali-kali. Jujur saja aku merasa sakit, tapi aku tidak ingin mengatakannya kepada Jimin hyung. Kalian bertanya kenapa? Entahlah.

"Kau pikir aku lupa jika tadi kau hampir pingsan?"

Ah, aku sudah melupakan kenyataan itu. Aku ingin tidak ada orang yang melihat sisi lemahku. Aku tidak ingin dikasihani. Aku tidak ingin ada orang yang mencemaskanku. Aku tidak menginginkan itu, sungguh.

Tiba-tiba dering telepon terdengar. Itu adalah ponsel milik Jimin hyung. Dia memeriksa siapa yang menghubunginya sebelum kemudian menerima panggilan itu. "Yeoboseyo?... Aku sedang di luar... Ah...Baik."

Aku memiliki firasat jika Jimin hyung akan segera pergi.

"Maafkan aku, Jungkook-ah. Aku harus pergi sekarang." Nah benar, kan? "Kau ingin pulang sekarang atau tidak? Aku akan mengantarmu." lanjutnya.

"Itu tidak perlu, hyung. Aku akan pulang sendiri." aku menolaknya.

"Aku hanya tidak yakin jika kau akan baik-baik saja. Cepatlah! Biarkan aku mengantarmu. Lagi pula rumahmu cukup jauh dari sini."

Benarkah? Aku bahkan lupa jalan yang tadi aku lewati. Letak rumahku? Lupakan saja. Aku tidak mungkin bisa kembali tanpa bantuan orang lain. Jujur saja aku berniat untuk meminta Jung hyung agar menjemputku.

"Jungkook-ah..."

"Baiklah."

Aku segera berdiri lalu mengikuti Jimin hyung yang berjalan keluar dari dalam cafe ini. Tenang saja, Jimin hyung sudah membayar pesanannya kok. Jangan menganggap Jimin hyung seperti pencuri. Aku tidak senang jika kalian berpikir bahwa Jimin hyung akan melakukan hal semacam itu. Oh, kalian tidak pernah memikirkan hal itu? Kalau begitu maafkan aku.

"Apa kau sering ke Busan?" tanya Jimin hyung memecah keheningan yang tercipta di antara kami.

"Sebenarnya ini pertama kalinya sejak hari itu." jawabku dengan jujur.

Jimin hyung langsung menoleh ke arahku begitu mendengar apa yang aku katakan. Dia memandangku dengan terkejut, sepertinya tidak menyangka jika aku tetap berada di Seoul selama lima tahun terakhir. "Kau bercanda, ya? Kau benar-benar tidak pulang selama lima tahun?" tanyanya masih dengan ekspresi terkejut.

Aku tertawa kecil melihat respon Jimin hyung itu. "Aku rasa selama itu aku menunggu sesuatu yang tidak seharusnya aku tunggu." ujarku.

"Ya! Jahat sekali."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Spring Day [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang