"Aku ke kantin sebentar."
Tidak ada respon lain kecuali tolehan kepala lalu tatapan yang mengekor laki-laki itu hingga akhirnya benar-benar menghilang di balik pintu. Jungkook kembali mengalihkan pandangannya lalu terdiam. Untuk saat ini pemandangan bersalju di luar sana lebih menarik baginya. Paling tidak otaknya berpikir demikian meskipun pada akhirnya dia tidak berfokus ke sana.
Entah apa yang sedang ada di otaknya, bahkan Jungkook tak tahu. Rasanya sakit, sedih, kecewa... entahlah. Yang jelas semua itu karena laki-laki yang dia lihat tepat sebelum gelap menjemputnya beberapa jam yang lalu. Seseorang yang ingin ia temui, tapi sepertinya menolak untuk bertemu. Padahal Jungkook hanya ingin mengucapkan sesuatu untuk mengurangi sesak di hatinya.
Sekarang dirinya menyesal karena waktu berjalan terlalu cepat. Seandainya dia memiliki sedikit lebih banyak waktu sebelum kesadarannya hilang, mungkin Jungkook bisa mengatakan sesuatu. Apapun itu asalkan dia tidak merasa sesedih ini. Bagaimanapun ia tahu bahwa kebetulan seperti ini tidak akan datang sering-sering.
Jungkook menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dirasa semakin sesak setiap kali memikirkannya. Selalu saja pertanyaan seperti 'apa memang harus seperti ini?' atau 'apa aku harus terus merasa sakit?' berputar dengan menyebalkan di otaknya. Padahal Jungkook hanya ingin melupakan hal-hal semacam itu lalu menjalani hidupnya dengan tenang.
Percuma. Dia merasa semuanya akan sia-sia. Sekeras apapun Jungkook meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja, sekuat itu juga otaknya menolak. Semuanya terasa begitu menyakitkan bahkan jika ada seseorang yang mau mendengarkannya.
Menghela nafas sekali lagi, Jungkook lantas bergerak untuk menggeser tubuhnya. Tapi bukannya menyamankan diri, dia malah meringis kala mendapati sengatan rasa sakit mendera tubuhnya. Lagi-lagi Jungkook dipaksa menyerah. Memang sebaiknya jangan banyak bergerak karena entah bagaimana tubuh bagian atasnya banyak terluka. Tentu saja beberapa bagian bawahnya juga tak luput dari luka, tapi tidak terlalu parah. Hanya beberapa goresan yang sebenarnya tidak terlalu menyakitkan.
Jungkook baru akan memejamkan mata ketika telinganya mendapati suara pintu terbuka. Spontan dia menoleh untuk melihat siapa yang datang. Tapi detik berikutnya ia membeku, saking terkejutnya melihat siapa yang ada di sana.
"Jin hyung?"
Laki-laki itu tersenyum tipis-yang sebenarnya terlihat agak canggung-kemudian melangkah menghampiri Jungkook yang masih membeku di tempatnya. Sementara maknae itu masih berpikir, setidaknya berusaha menafsirkan tatapan rumit yang diberikan Seokjin kepadanya.
"Ya, Jungkook-ah. Kenapa diam? Ah, mianhe." Entah Seokjin ingin bercanda atau serius meminta maaf. Entah dia ingin tersenyum atau menangis karena perubahan ekspresinya begitu cepat. Mungkin untuk kalimat pertamanya Jungkook akan berpikir bahwa Seokjin ingin menghilangkan canggung, tapi tidak bisa dan akhirnya mengucap maaf.
"Hyung... Ya! Uljima."
Seokjin juga tidak tahu kenapa dia malah tidak bisa menahan lelehan hangat dari matanya saat melihat Jungkook dengan tubuh penuh luka dalam posisi setengah berbaring menatapnya. Padahal dia sudah menyiapkan banyak kalimat dan candaan agar suasana di sini tidak terlalu tegang. Butuh waktu baginya memikirkan semuanya. Tapi ternyata itu hancur begitu saja kala Seokjin mendapati tatapan rumit Jungkook ketika melihatnya.
Sekali lagi kalimat-kalimat dan bentakan dari Yoongi beberapa saat yang lalu kembali berputar di otaknya. Pernyataan bahwa maknae ini selalu menderita membuat Seokjin kembali dirundung perasaan bersalah. Dia merasa bodoh karena tidak mencoba untuk merengkuh tubuh ringkih ini sejak dulu. Juga kecewa pada dirinya sendiri karena dengan tega meninggalkan Jungkook yang saat itu masih remaja sendirian.
"Mianhe, Jungkookie. Jeongmal mianhe."
Sementara laki-laki yang lebih muda hanya bisa memandang miris Seokjin yang tidak berhenti meminta maaf. Ini bukan masalah siapa yang bersalah dan siapa yang meminta maaf. Hanya saja Jungkook merasa teriris melihat laki-laki yang dipanggilnya hyung itu terus menyalahkan diri sendiri.
Jungkook bergerak, mengabaikan sengatan rasa sakit yang dirasa hanya untuk menggapai jemari Seokjin yang mengepal di kedua sisi tubuhnya. Tatapannya yang memang sendu kian melembut. Tapi agaknya itu membuat Seokjin semakin dirundung perasaan bersalah. Terbukti dari bagaimana dia akhirnya menjatuhkan tubuh di sisi ranjang tanpa mencoba melepaskan genggaman dari yang lebih muda. Rasanya Jungkook bahkan belum pernah melihat Seokjin terang-terangan menangis di hadapannya.
"Hyung, sakit."
Ucapan Jungkook selanjutnya sukses mengambil alih semua atensi yang lebih tua. Seokjin langsung mendongak untuk menatapnya. Bahkan dalam matanya yang masih terlihat basah dapat ditemukan kecemasan yang tidak bisa ditutupi. "A-apa? Aku akan memanggil dokter." Seokjin berucap putus-putus, cemas dan kalut di saat bersamaan.
Laki-laki itu bergegas bangkit lalu berniat pergi sesegera mungkin, tapi langkahnya terhenti kala menyadari bahwa tangannya masih digenggam erat oleh si maknae. Seokjin kembali berbalik, meminta yang lebih muda untuk melepaskannya. Tapi Jungkook malah menarik tangannya, berusaha membuatnya mendekat kembali.
"Kau tahu, hyung?" Jungkook mengeratkan genggamannya, bersamaan dengan cengkeraman di dadanya. "Rasanya sangat sakit melihatmu menangis. Aku tidak bisa menahannya, terlalu sakit." lanjutnya.
Ucapan yang klise? Omong kosong? Entahlah, Seokjin bahkan tidak sempat memikirkannya karena itu berhasil menohoknya sekali lagi. Tidak, ucapan Jungkook terdengar tulus. Dan lagi Seokjin tahu bahwa pertama kalinya dia melihat Jungkook menangis adalah karena merasa tidak berguna saat melihat hyung nya kesusahan sementara maknae itu tidak bisa melakukan apa-apa. Jadi wajar kan jika Seokjin mempercayai ucapan Jungkook begitu saja? Mungkin itu memang terdengar seperti omong kosong. Tapi jika maknae itu yang mengatakannya, Seokjin yakin jika itu tulus.
"Mianhe. Aku tidak..."
"Gwenchana. Menangis saja jika itu membuatmu lebih tenang, hyung. Biar aku ikut merasakan sakitnya juga." potong Jungkook sembari memamerkan seulas senyum khasnya.
Seokjin menggeleng cepat kemudian menubrukkan tubuhnya untuk memeluk maknae itu. "Ani, Jungkookie. Aku tidak akan menangis lagi, jadi kau tidak boleh sakit." ucapnya dengan menahan getar akibat isakan.
Sementara Seokjin mulai menenangkan diri untuk menghentikan isakannya, Jungkook hanya diam dalam posisi awal. Mungkin dirinya sedang menikmati pelukan yang sudah lama tak dirasakannya. Menyenangkan, tapi juga menyakitkan. Karena pada akhirnya Jungkook harus menyadari bahwa Seokjin juga akan meninggalkannya lagi. Mungkin Yoongi juga, seperti Jimin.
Helaan nafas panjang yang dilakukan maknae itu terdengar menyesakkan. Tapi bibir tipis itu melukis senyum di wajah manisnya. Karena takdir telah melunak kepadanya, maka Jungkook berpikir untuk menjadi lebih bersahabat. Dan walaupun Seokjin mungkin akan menjauh lagi darinya, Jungkook berharap tidak akan ada penyesalan setelah itu. Lagi pula satu harapan kecilnya sudah terpenuhi dengan indahnya. Bertemu dengan salah satu hyung dan mengatakan bahwa dirinya merindukan mereka.
"Hyung, neomu bogoshipeo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day [END]
Fanfic[방탄소년단 x 전정국] Ini adalah kisah tentang kerinduan seseorang pada sebuah kebahagiaan. Mengenai bagaimana dirinya menjalani kesunyian hatinya dan tentang keteguhannya dalam mencari alasan mengapa dia harus menanti. Jeon Jungkook harus terpisah dari ena...