28. BOLEHKAH RINDU

212 18 0
                                    

"Ada lelah yang tak dikerjakan
Ada beban yang tak ditimpakan
Kamu tahu apa itu?
Adalah rindu tanpa jawab karena tak mampu bersua"

*Adisa POV*
Hanif, ini suaraku untukmu, ingin sekali aku menyapamu atau sekedar menanyakan kabar. Jika boleh jujur Adisamu ini rindu ingin berjumpa Hanif. Tapi apa boleh buat, aku ini perempuan, tak elok jika harus aku yang memulainya terlebih dahulu.

Sudah hampir tiga tahun, Nif, aku berada di negri orang. Ini tahun terakhir aku berada di Turki. Sebentar lagi aku akan wisuda, hari ini Ayah, Om jaya, dan Kak Reza datang menemuiku. Kami menghabiskan waktu liburan di Istanbul, sembari Om Jaya menyelesaikan tugas kantornya disini.

Oh ya Hanif, akhir-akhir ini aku dekat dengan Kak Reza mantan tunangannya guru biologimu dulu saat SMA. Tapi ada satu hal yang aneh dari Kak Reza, aku melihat ada dua sikaf dalam satu diri Kak Reza. Tapi aku tidak begitu memahaminya, yang aku lakukan hanyalah menepia perasangka burukku terhadapnya. Apalagi kebaikan Kak Reza membuat aku merasa seperti mempunyai kakak kandung.

Kamu harus tahu, sejauh manapun aku pergi, aku tidak pernah menemukan tempat persinggahan hati.

Adisa, Turki 2008

Kututup laptopku kemudian menyeruput kopi hangat pesananku. Aku terbiasa menghabiskan waktu disini, disebuah taman jalanan dekat jembatan kecil yang mengubungkan dua kota disini.

*Hanif POV*
Disinilah aku sekarang, di antaranya sepinya trotoar Yogyakarta yang tak seperti biasanya, mendengarkan lagu-lagu tentang kerinduan yang banyak didengar orang pada 2008 ini.

Adisa Shaza Altaf, aku tak pandai bercerita dalam aksara, apalagi berirama dalam suara. Entah harus dengan cara apa aku menyampaikan rindu.
Aku maupun kamu adalah dua ambisi pengejar mimpi, aku tak mau mengganggu juangmu, dan akupun tak ingin waktuku jadi cedera memgurusi apa yang belum tentu nyata.

Bait-bait do'a mengangkasa, mengulang nama satu hamba. Jikapun rinduku bersua akankah kamu mendengarnya? Dan akankah aku mendapat jawabnya?

Sebuah panggilan vidio masuk menghentikan monologku.

"Assalamu'alaikum Bunda"sapaku pada wajah menenangkan dilayar ponselku

"Wa'alaikumsalam, Abang sehat?"tanyanya penuh kelembutan

Aku tersenyum kemudian duduk ditepian bangku trotoar

"Alhamdulillah Bunda, Bunda sama yang lainnya gimana?"

"Syukron 'ala nikmatillah.. Alhamdulillah semuanya sehat sayang. Bunda sama Papa minta ma'af ya belum bisa jenguk Abang kesana"

"Masya Allah, tidak papa Bunda lainkali saja"

"Abang gak ada yang mau diceritain gitu sama Bunda?"

"Maksudnya, Bun?"

"Abang udah lama gak cerita sama Bunda"

"Oh tentang kuliah ya, Bun? Alhamdulillah Allah beri kelancaran tanpa kendala."

Setelah mendengar jawabanku Bunda malah terlihat seperti tersenyum geli, aku menautkan kedua alisku heran.

"Maksud Bunda, gimana cerita hati Abang, terus adik tingkat yang sering cari perhatian sama Abang gimana kabarnya"jelas Bunda sembari terkekeh

"Yah bunda... masa nanyainnya itu sih, Abang malah risih sama cewek-cewek disini. Gak ada yang sekalem Adisa" ucapku diujung kalimat membuat aku matung sendiri dengan ucapanku

"Duhh mukanya langsung tegang gitu, Masya Allah anak bunda ternyata belum move on dari disa yaaah" ledek Bunda

"Oh jadi jagoan Abu belum bisa lupain Adisanya?" Goda Abi yang barusaja muncul, aku hanya menunduk dan tidak tahu harus menjawab apa.

"Abang lagi dimana kok kaya di luar?"Tanya Abi

"Lagi jalan-jalan sore di trotoar hee.."

"Bang, Bunda sama Abi mau ke rumah tantemu dulu.. Udah dulu ya... Assalamu'alaikum"

******

*Author Pov*

"Terserah saja jika kamu mau menolak, tapi jika kejadiannya seperti itu, berarti kamu samasekali tidak tahu malu, dan tidak tahu berterimakasih atas apa yang aku lakukan selama ini kepadamu" Ucap Jaya kepada Naznan- ayah Adisa penuh penekanan.

"Ma'af Jaya, sebaiknya kita bahas ini dua bulan lagi, setelah kepulangan Adisa ke Indonesia" jawab Nazma tak kalah tegas.

ADISA( ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang