Jackson Arkanandra Damian. Siapa yang tidak mengenal siswa kelas 11 SMA itu. Semua murid di sekolahnya bahkan murid dari sekolah lain sangat mengenal dia. Karena wajah tampannya yang menarik perhatian kaum hawa dimanapun dia berada. Belum lagi kepintarannya yang diatas rata-rata. Semua perlombaan selalu dia menangkan yang membuat namanya semakin menjadi pembicaraan semua orang.
Namun hal itu tidak membuat Jackson sombong. Jackson malah terkesan acuh dan tidak terlalu peduli. Semakin dewasa, Jackson terlihat semakin pendiam.
Bahkan Andra tidak habis pikir dengan anak sulungnya itu. Kecilnya selalu aktif tapi semakin dewasa dia terlihat seperti Daddynya.
Biarpun Jackson pendiam, tetapi fansnya sangat banyak. Bahkan hampir seluruh kaum hawa yang berada disekolah mengklaim dirinya sebagai fans Jackson.
Contohnya saja sekarang ini, Jackson tengah duduk sendirian dikantin. Semua pasang mata melihat kearahnya. Entah secara diam-diam atau secara terang-terangan. Para siswi itu menatapnya kagum sedangkan para siswa banyak yang menatapnya iri. Jackson sama sekali tidak terusik dengan pandangan semua orang itu. Dia hanya fokus sepenuhnya dengan bakso yang dia makan.
"DIZZA SINI LO!! KUY KITA BAKU HANTAM!!!"
Ketenangan kantin buyar saat teriakan menggelegar itu terdengar disertai langkah kaki yang berlarian. Seorang siswi berlari sembari tertawa dan dikejar siswa lain dibelakangnya. Cukup berisik, namun itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi mereka yang berada dikantin.
"Jackson tolongin gue. Itu si Jesper ngamuk lagi anjir!!" seru siswi tomboy itu dan langsung duduk di depan Jackson yang masih makan dengan tenang.
"Sumpah Diz, lo jahat banget sama gue," rengek Jesper mendudukkan diri disamping Jackson.
"Kok lo nyalahin gue sih?"
"Lo emang salah. Terus gue harus nyalahin siapa kalo bukan lo."
"Lo mah gitu. Gue kan cuma bercanda doang. Just kidding, Bro."
Jesper melotot, "Candaan lo nggak lucu babi!"
Jackson memandang kedua temannya itu bergantian, "Ada apa?" tanyanya.
Jesper merangkul lengan Jackson dengan manja. Dan Jackson sama sekali tidak terganggu dengan hal itu.
"Tuh si Dizza. Masa gue diseret ke kelasnya nenek lampir itu," adu Jesper.
"Nenek lampir?" tanya Jackson.
"Itu loh si Ghina, anak kelas 12. Dia cubitin pipi gue sampai merah-merah gini. Mana Dizza nggak mau disalahin. Ngeselin sumpah," ujar Jesper berapi-api.
"Sorry deh sorry. Tuh anak kan emang selalu gemes kalo ngeliat lo," sahut Dizza.
"Cih! Gemes sih boleh, tapi nggak usah pake acara nyubitin pipi segala."
"Udah ah, janji deh gue nggak bakal ngerjain lo lagi."
"Dusta."
"Apa? Nggak ya."
Jesper menodongkan garpu milik Jackson kearah Dizza.
"Gue nggak percaya. Lo selalu dusta. Lo sering ingkar janji."
Dizza cengengesan membuat Jesper mendengus sebal. Jackson menggeleng pelan, mengambil kembali garpu yang dipegang Jesper dan kembali menyuapkan baksonya.
"Lo nggak ada pesenin kita, Jack?"
"Nggak. Gue pikir kalian masih lama urusan sama Bu Riris."
"Bu Riris balik. Anaknya masuk rumah sakit. Makanya kita nggak lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy? [END]
RandomSemua yang terjadi adalah kesalahan terbesarku. Dimana aku dengan tidak tahu malunya memberikan segalanya untuknya. Tapi aku tidak pernah menyesal. Aku pernah mencintainya... Aku pernah merelakan sesuatu yang berharga untuknya... Dan aku mendapatkan...