Diare

460 41 12
                                        

Hai, ketemu lagi kita. Heheh, vote dulu, ya... Danke 🤗

Aku tidak mau harus bagaimana menenangkan diriku sendiri sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak mau harus bagaimana menenangkan diriku sendiri sekarang.

Pemotretan outdoor yang menjadi pekerjaanku bersama Ivy sekarang benar-benar di luar perkiraanku. Dan kenapa lokasinya harus terletak jauh dari perkotaan?

Ini bukan seperti aku yang biasa sangat menyukai suasana pedesaan yang asri dan sangat sejuk. Karena sekarang aku sedang tidak begitu bisa fokus dengan yang ada di sekelilingku.

Keringat dingin menggumpal menjadi titik-titik sebesar jagung di pelipis dan dahi. Berkali-kali kuusap, tapi malah menjalar di hidung dan atas bibir.

Belum lagi dengan bulu kuduk yang terlalu sering berdiri tanpa bisa aku cegah.

Kulihat ke sekeliling. Ivy belum juga keluar dari rumah kecil yang menjadi tempat istirahat untuk semua kru. Dia pasti belum selesai dirias.

Aku bahkan belum melihat mbak Remi di manapun. Aku harus bertemu dengan mereka segera.

Aku berdiri dan mencoba mencari siapa pun yang bisa aku ajak bicara untuk sesaat bisa pergi dari tempat pemotretan ini. Semua orang terlihat sibuk sekarang.

Kursi bertulis nama Ivy sedikit mencuri perhatianku. Kuedar pandangan melihat langit yang begitu terang. Matahari bersinar sangat terik meski sudah sore.

"Ada apa, Mas De?" Salah satu kru menghampiriku, mungkin karena melihat aku berdiri.

"Ah, saya permisi sebentar ke belakang ya, kang. Perut saya rada gak baik ini," jawabku mengelus perut sekilas.

"Oh iya, Mas De. Gak papa. Pemotretannya masih sepuluh menit lagi kok."

Syukurlah. Aku berterima kasih sebelum kru yang kupanggil Kang itu pergi. Segera aku berlari ke belakang setelah lebih dulu melepas jaket yang aku pakai untuk menutupi kursi yang akan Ivy pakai untuk duduk agar tidak kepanasan.

***

"Jota."

Kulihat Ivy yang memasang wajah... bisakah kubilang khawatir? Dahinya berkerut dengan mata yang sedikit mengecil.

Dia bahkan langsung berdiri saat Qila memberi isyarat aku berjalan ke arahnya.

"Dari mana aja, sih? Kenapa handphone-nya gak bisa dihubungi?"

Dia menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku melambung karena merasa Ivy panik mencariku. Atau memang benar begitu? Haruskah aku berlonjak girang sekarang?

Kulihat dia dengan senyuman. Dengan hati penuh, kuusap ujung kepala Ivy pelan-pelan karena tidak ingin rambut rapinya menjadi berantakan.

"Ke belakang sebentaran doang. Segitu banget rindu sama suami, I."

Dia tersungut tak setuju. Aku hanya bisa terkekeh melihat dia yang hendak memukulku. Aku yakin, Ivy pasti akan mengoceh panjang jika tidak ada orang banyak sekarang.

IVY (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang