Iya-iya, selesai sebelum puasanya cuma wacana 😅. Maafkeun, atuh. Tapi gak apa, ya. Hehehe... Jangan lupa vote sama komen, yaw 🤗. Terima kasih 😇
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mataku bergerak terus-terusan sejak tadi. Tangan Ivy masih begitu posesif memelukku.
Aku tidak yakin apakah Ivy sudah tidur atau masih menangis di belakangku. Tapi kamarku benar-benar sunyi. Aku masih menunggu sampai beberapa saat.
Tapi mataku membelalak saat merasakan sebuah kaki menindih tubuhku. Dengkuran halus terdengar setelahnya.
Benar. Itu kaki istriku dan sekarang dia pasti sedang terpulas di belakang sana.
Aku menarik sedikit tubuhku untuk bisa menoleh dan melihat bagaimana istriku bergaya dalam tidurnya.
Wajah Ivy tertutup punggungku, sehingga aku harus bergeser agar dia tidak tertindih. Kaki panjangnya masih bertengger tanpa bersalah di tubuhku. Tangan sebelahnya terjulur ke bawah dan yang lainnya masih memelukku.
Jadi, begini rupanya Ivy saat tertidur.
Aku mencoba untuk memperbaiki kaki Ivy agar dia lebih nyaman. Lalu sedikit menarik tangannya agar tidak kebas dan kini aku berbalik untuk bisa melihat wajahnya lebih jelas.
Dia benar-benar pulas. Mungkin lelah karna entah berapa lama dia menangis.
Kuulur tanganku di sepanjang leher belakang Ivy. Dia menggeliat, hanya sekilas, lalu kembali terlelap setelahnya.
Kurapatkan selimut ke tubuhnya yang mulai dingin karna pendingin ruangan. Membawanya kembali ke rangkulan agar gadis itu semakin nyaman.
Aku berhasil membuat Ivy tidak terjaga. Dia malah terlihat semakin pulas.
"Maaf karena aku malah pergi saat kamu butuh, Ivy. Dua minggu ini, aku udah diusir sama orang-orang yang aku tumpangi nginep."
Aku terkekeh pelan. Kembali melihat Ivy untuk memastikan dia tidak terganggu dengan guncangan tubuhku.
Kuusap kepala belakangnya dengan lembut.
"Kak Arunika kepo banget. Terus mbak Keitha malah marah-marah sambil mukuli aku. Gak ada basa-basi lagi, dia beneran ngusir aku gitu aja. Yang terakhir, Langit. Itu anak ternyata bisa ngomong bener juga."
Aku tersenyum. Mengusap pipi Ivy yang bernapas teratur.
"Aku beneran gak tau gimana caranya ngomong ke kamu soal Kendra. Waktu itu aku kalap sampe gak bisa nahan emosi. Dia mau menyakiti kamu. Gak ada hal yang bikin aku semarah itu kalo bukan soal kamu, I."
Senyumku memudar. Napasku jadi sesak hanya karena mengingat kejadian hari itu. Dengan kesadaran, aku mengecup singkat ujung kepala Ivy.
"Aku gak akan ngebiarin dia ngelakuin hal buruk sama kamu, I. Gak akan pernah."