Chapter 21

90.1K 9.1K 2.5K
                                    

A little sympathy.
____________

AKU tidak pernah melihat Bang Abil memiliki ketertarikan seperti ini pada 'pria'. Atau hampir tidak pernah kutemukan Bang Abil memuji pria. Bukan ketertarikan layaknya kaum Nabi Luth, bukan. Tapi ketertarikan seperti rasa kagum yang berlebihan. Seolah Athaya adalah sosok yang paling inspiratif yang pernah Bang Abil temui selama hidupnya. Like Athaya is a star that is too shine.

Sepanjang makan siang, percakapan kami hanya stuck pada Athaya. Pria itu begitu menarik untuk dijadikan topik pembicaraan di mata Bang Abil. Tidak ada pembicaraan lain. Sekalipun sudah kualihkan pada judul tesisnya yang sudah diapproved itu, tetap saja Bang Abil balik lagi menanyakan tentang Athaya.

"Sebenernya pencapaiannya biasa aja sih, tapi mungkin karena di umurnya yang sekarang dia udah sangat profesional di bidangnya. Abang ngerasa dia keren aja gitu. Susah loh, buat sampai di titik dia sekarang di usia semuda itu," kata Bang Abil ketika kami berjalan kembali menuju rumah sakit. Entah keberapa kalinya Bang Abil menggunakan kata 'keren' untuk mendeskripsikan kekagumannya.

"Ya begitulah ... kurangnya cuma satu. Womanizer," jawabku. Bang Abil malah tertawa mendengar itu.

"Eh, Bang. Kemarin Mamanya Kak Syam gimana?" tanyaku. Aku baru punya kesempatan untuk menanyakan itu sekarang.

"InsyaAllah, katanya minggu depan dia akan dateng lagi bareng keluarga besarnya untuk prosesi khitbah. Kemungkinan pernikahannya akan dilakukan sekitar dua bulan lagi paling cepat. Berarti sekitar habis Abang wisuda. Pray a lot so everything is easy, biar kedepannya semuanya berjalan lancar," kata Bang Abil. Aku tersenyum simpul sambil melangitkan beribu syukur ketika mendengar itu.

"Abang tunggu di tempat parkir ya, males bolak-balik," katanya ketika kami sudah berdiri lagi di depan pintu masuk rumah sakit. Tanpa menunggu persetujuanku, pria itu berlalu menuju tempat parkir motor. Sementara aku harus kembali ke ruangannya Alna untuk mengambil laptop dan barang-barangku yang lain.

Setelah mengetuk pintu ruangan rawat inapnya dan mengucapkan salam. Aku memutarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan itu. Alna berada sendirian di dalam sambil membaca sebuah buku yang entah apa. You know how boring being in hospital, jadi pasien yang hanya bisa berbaring tanpa bisa melakukan apapun.

"Athaya kemana?" tanyaku ketika melihat ruangan itu dalam keadaan kosong, tapi aku menemukan handphone pria itu yang sedang dicharger di atas nakas, di samping Alna berbaring.

"Wah ... This is the first time you have called me Athaya, without another formal call," kata seseorang yang muncul dari balkon sembari memegang iPad yang kupakai kerja tadi. Aku tidak tahu apa yang habis Athaya lakukan dari luar, tapi bau nikotin yang langsung tercium menandakan dia baru selesai merokok.

"Maksud saya Pak Atha. Bukan-maksudnya Bos. Ah ... I don't know what to say," kataku sembari mengangkat bahu. Athaya hanya tersenyum asimetris mendengar bicaraku yang berantakan.

"Ini kerjaanya Pak Handoko kenapa kamu yang kerjain?" tanyanya sembari menunjukan layar iPad yang menyala.

"Pak Handoko minta tolong dibuatkan laporan singkatnya. Sekretarisnya nggak masuk hari ini. Jadi saya yang kerjakan," kataku. Aku tidak bisa menebak bagaimana reaksi Athaya ketika dia tahu aku mengerjakan pekerjaan yang lain, his mind is unreadable.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang