Chapter 13

70.2K 8.8K 1.2K
                                    

Not to be chosen.

____________

AYUNAN kayu yang berada di teras rumah itu bergerak mengikuti dorogan kakiku. Suara decitnya membuat suasana tidak lagi hening. Langit malam juga terlihat kelabu tanpa mau memunculkan bintang satu pun. Semuanya gelap, like signifying there's nothing I can choose.

Sepulang bertemu Najwa tadi sore, aku tidak henti-hentinya memikirkan apa yang harus kulakukan. Perkataan Najwa benar-benar membuatku down. Aku bilang akan membantunya, tapi aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku.

Jelas aku tidak mau membuat Najwa sedih. You know how much she cares about me. Jika aku memilih salah satunya, maka aku harus siap kehilangan salah satunya juga. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin menolak niat baik Kak Syam. Dua keputusan itu terasa mencekikku secara bersamaan.

Suara notifikasi yang masuk membuatku berhenti sejenak memikirkan semua itu, ada satu pesan masuk ke handphoneku.

Athaya:
"Thank you for taking my sister to lunch, ngomong-ngomong ... Alna bilang apa aja tadi?"

Aku lupa, aku belum mengatakan apapun tentang Alna pada Athaya. Darimana dia tahu aku mengajak adiknya makan siang? Kukira pria itu tidak begitu peduli terhadap adiknya. Aku mengetikkan sesuatu untuk membalas pesannya.

"Alna mau anda pulang dan tinggal lagi dirumah, dia juga mau anda mengangkat panggilannya kalau dia menelepon. Kakak laki-laki itu punya tanggung jawab besar terhadap adik perempuannya, itu yang Alna bilang," balasku. Tepat setelah mengirimkan pesan tersebut Bang Abil keluar menghampiriku.

"Astagfirullah ini anak ... Kamu dari tadi Abang panggil beberapa kali nggak denger?" tanya Bang Abil. Aku menggeleng pelan. Manusia akan lebih cepat merespon handphonenya yang berdering, dibandingkan merespon panggilan seseorang.

"Kamu mau bikin mie nggak?" Tanyanya. Aku mengangguk menyetujui tawarannya.

"Oke, buatkan punya Abang juga sekalian ya!" katanya.

Loh, kenapa malah jadi aku yang buat? Kukira tadi dia menawarkan diri untuk membuatkan.

"Males ah! Nggak jadi," jawabku menolaknya.

"Ayolah ... Abang lagi bikin laporan nih. Kamu udah sering Abang anter-jemput juga," katanya mengungkit-ungkit kebaikannya. Sebenarnya selama ini dia ikhlas tidak sih melakukannya? Kenapa pria ini terasa begitu menyebalkan disaat emosiku sedang tidak stabil seperti sekarang?

"Abang harus jawab dulu pertanyaan aku. Kalau jawabannya memuaskan, aku buatkan mienya," kataku bernegosiasi. Dia mengernyitkan kening keheranan.

"Nanya apa?" tanyanya.

"Kalau misalkan Abang jadi buronan polisi, terus Abang ketangkep pas lagi berdiri di sisi jurang. Apa yang akan Abang pilih? Loncat ke jurang, or shot by the police?" tanyaku.

"Kenapa harus memilih? Dua-duanya juga akhirnya meninggal. Kamu lagi baca novel thriller apalagi sih, Fir?" jawab Bang Abil, merasa aneh dengan pertanyaanku.

"Aku nggak lagi baca novel, Bang! Harus ada jawaban yang pasti dong. Abang nggak punya pendirian banget sih jadi cowok. Jawab aja dulu!" Kataku dengan nada khas perempuan yang mengomel. Aku mendadak kesal padanya.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang