Chapter 20

104K 10.2K 2K
                                    

Depression.

____________

TIDAK seharusnya aku pergi meninggalkan rumah begitu saja, but even though everyone forbade it, I had no choice but to leave. Ya, aku tidak punya pilihan lain selain pergi ke rumah sakit ketika tidak ada seorang pun yang bisa diandalkan. Dalam situasi seperti ini, aku cukup tahu bahwa setiap detiknya menjadi sangat penting.

Betapa kalutnya pikiranku sepanjang mengendarai motor menuju Rumah Sakit Abdi Waluyo itu. Harusnya aku tidak nekat mengendarai motor sendirian dalam keadaan panik seperti ini, apalagi malam-malam. Segala bayang-bayang buruk mulai berkeliaran dalam pikiranku.

Saat sampai di depan pintu masuk UGD, aku sempat melihat beberapa pria menggunakan pakaian dinas di kursi tunggu. Seragamnya yang serba abu, lengkap dengan baretnya yang sedang mereka genggam menandakan bahwa dua pria itu adalah polisi. Tapi aku tidak menghampiri mereka. Aku langsung menghampiri area administrasi dan mengatakan bahwa aku adalah wali dari pasien bernama Alna Haqiesya Adyatama.

Tak lama, suster tersebut memanggil seorang dokter yang memang sedang bertugas di UGD malam itu. Dokter umum yang kutebak masih seusia dengan kakakku itu menjelaskan bagaimana kondisi Alna dan operasi apa yang akan dilakukan oleh dokter bedah. Aku setuju dengan apapun yang akan dilakukan, selama semua itu bisa menyelamatkan Alna.

Setelah itu aku diminta menanda tangani informed consent terlebih dahulu, sementara persiapan pra-operasi mulai dilakukan. Meskipun aku bisa meniru tanda tangan Athaya sebaik mungkin, tapi semua itu sama sekali tidak berguna di tempat ini. Akhirnya aku menanda tangani informed consent tersebut dengan namaku sendiri sebagai walinya, even we had no blood connection whatsoever.

Ketika diminta mengisi form data pasien, kepalaku langsung pening. What can I do here? I'm absolutely no help! Aku sama sekali tidak tahu apapun tentang Alna. Aku tidak tahu tempat tanggal lahirnya, umurnya, serta golongan darahnya. Aku hanya bisa mengisi bagian nama dan alamatnya saja, sisanya blank.

Kuserahkan kembali form itu pada suster dalam keadaan kosong, kukatakan bahwa aku hanya tahu anak itu, tapi tidak mengenalnya dengan baik. Sementara semua keluarganya sedang berhalangan untuk datang. Syukurlah suster yang berjaga di bagian administrasi itu bisa memahaminya. Dia juga mengatakan  dimana aku bisa menunggu Alna selesai operasi.

Dua pria berseragam sabhara PLDT dengan baret yang kulihat saat masuk tadi, menghampiriku saat aku sedang duduk cemas di kursi tunggu, di depan ruang OK. Mereka menjelaskan bahwa mereka polisi yang sedang bertugas di polsek Menteng dan mendapat panggilan dari pengendara lain yang melihat kecelakaan itu.

Dari kronologi yang disampaikan polisi, ternyata Alna menyetir mobil Toyota Camry SE V6nya sendirian. Mungkin dia baru saja akan pulang dari suatu tempat. Entah dia menghindari terjadinya tabrakan atau bagaimana, dalam kecepatan yang cukup tinggi mobil itu menabrak portal jalan sampai bemper depan mobilnya rusak parah.

Dokter juga tadi mengatakan kalau kemungkinan besar kepala Alna yang terbentur cukup keras membuatnya tidak sadarkan diri, sementara pendarahan dalam di perutnya terjadi akibat tekanan stir yang terlalu keras.

Polisi itu mengatakan bahwa akan menindak lanjuti kasus ini, karena Alna masih anak yang belum cukup umur untuk mengemudi sendirian. Untuk sementara mobilnya diderek ke polsek Menteng. Mereka juga meminta nomer handphoneku untuk mengabari perkembangan kasusnya. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih berulang kali karena telah mengantarkan Alna ke UGD secepatnya.

For one hour, I can only sit while continuing to pray. Operasi masih juga belum selesai. Kaki dan tanganku masih gemetar. Sesekali aku menggigit ujung-ujung kuku, untuk menghilangkan rasa khawatir yang berlebihan.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang