Bagian 24

55.8K 8K 1.1K
                                        

Find the truth.

────୨ৎ────

THIS is an annoying moment, di saat aku mencoba mengajak dua pria itu berbicara serius tentang hal mengagetkan yang baru kuketahui. Mereka malah menjawabnya dengan santai sambil mengemil makanan yang kubawakan, seolah hal yang kutanyakan bukanlah hal yang penting.

"Kamu dulu sensitif banget bahas masalah kecelakaan itu. Psikiater kamu sampai bilang, jangan mengingatkan hal yang bisa memacu kamu ingat kejadian itu. Jadi Ayah pikir kamu nggak perlu tahu tentang dapat donor mata itu," jawab Ayah dengan setengah martabak yang masih dia kunyah, sisanya masih dia pegang. Bang Abil malah sibuk dengan zuppa soup-nya.

Aku masih ingat, bagaimana aku dulu ketika tanpa alasan sering menangis histeris hanya karena hal-hal sepele. Sepertinya menyembunyikan semua itu dariku memang menjadi jalan terbaik yang bisa mereka lakukan ketika mengingat kondisiku dulu.

"Itu masa-masa sulit buat Ayah, Fir ... Jujur, Ayah juga nggak mau mengingat-ingat masa itu lagi. Dalam satu hari, tiba-tiba Ayah tersadar di rumah sakit dengan keadaan sebelah kaki Ayah yang sudah diamputasi. Mama kamu meninggal dan dokter bilang kondisi kamu kritis. Gimana Ayah nggak frustrasi?" kata Ayah.

"Kalau Ayah nggak ingat masih punya kamu sama Abil, mungkin Ayah berpikiran untuk menyusul Mama kamu daripada bernapas, tapi terasa seperti menghirup racun setiap detiknya."

"Syukurlah banyak orang-orang baik yang masih peduli sama kondisi Ayah dan menopang Ayah supaya tetap bertahan. Seputus asa apa pun Ayah saat itu, Ayah ingat kalau Allah nggak akan kasih ujian di luar kemampuan hamba-Nya." Mendadak mataku kembali berkaca-kaca mendengar itu.

"Ayah dikasih ujian sebesar ini karena Allah yakin Ayah bisa melewati semuanya. Allah yakin Ayah kuat. Akhirnya Ayah mencoba untuk fokus sama penyembuhan kamu. Dokter bilang mata kamu harus diangkat, dan kemungkinan kamu akan mengalami kebutaan permanen karena kedua mata kamu mengalami kerusakan parah," lanjut Ayah.

"Ayah nggak tahu harus bilang ini anugerah atau bukan. Ada perempuan yang juga sekarat di rumah sakit itu. Sebelum dia meninggal, dia mengatakan ingin mendonorkan matanya untuk kamu jika saja mata kalian cocok."

"Suaminya juga datang ke rumah sakit saat itu, karena operasi transplantasi organ jelas memerlukan izin dari walinya." Aku terdiam sebentar ketika Ayah mengucapkan kata "Suami". Apa Athaya juga punya ayah angkat, atau yang datang itu ayah kandungnya?

"Saat itu Ayah terkendala masalah uang juga. Akhirnya biaya operasi kamu juga pria itu yang tanggung. Sampai sekarang Ayah selalu mendoakan perempuan itu, dan berhutang banyak pada suaminya." Ayah mengakhiri ceritanya, dia menatapku sebentar sebelum akhirnya mengambil potongan martabak selanjutnya.

"Jangan bikin Ayah nyesal sudah menceritakan ini semua sama kamu dong ..." kata Ayah, membuatku mengusap kedua kelopak mataku yang tanpa sadar sudah sedikit berair. Setelah mangkuk zuppa soup-nya kosong, Bang Abil duduk, lalu menatapku dengan serius.

"Kenapa kamu tiba-tiba nanyain itu? Terus kamu tahu dari siapa kalau bukan dari Abang sama Ayah?" tanyanya. Dia jeli sekali dalam hal seperti itu, padahal Ayah saja tidak menanyakannya.

"Dari yang di atas," jawabku. Bang Abil mengernyitkan kening bingung, dia kesulitan memahami maksudku. Kalimat yang kugunakan memang agak rancu.

"Allah?" tanyanya menyimpulkan.

"From Allah, through someone," jawabku.

"Someone, who?" tanya Bang Abil terdengar sangat penasaran. Matanya semakin menyelidik menatapku.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang