Chapter 10

77.2K 8.7K 1.4K
                                    

Fear in myself.

____________

SEBERAPA banyak kuyakinkan diri sendiri untuk mulai memerangi PTSD itu, membangun keberanian untuk kembali menaiki robot ulat raksasa lagi, tetap saja hasilnya zero. Untuk sekedar membayangkannya saja, aku benar-benar tidak mampu. It's all too terrible even for just thought.

Setelah deep talk yang kulakukan bersama Najwa di kafeteria waktu itu. Sehari setelahnya aku tidak bisa tidur. Serentetan potongan kejadian kecelakaan itu kembali terbesit dalam mimpi-mimpiku dan membuatku terbangun tengah malam. Showing my mother's condition when she was still covered in blood, it's just make me wanna cry.

Sepertinya sosok ibu memang akan selalu menjadi kelemahan setiap anak, pun akan menjadi kekuatannya. Karena hal tersebut juga, Ayah menyarankanku untuk tidak ikut event FOKUS kali ini, lagipula tempatnya terlalu jauh katanya. Saran adalah bentuk larangan paling halus yang bisa Ayah katakan, dia tahu aku sangat ingin ikut event kali ini.

Aku tidak pernah se-hopeless itu memikirkan larangan Ayah. Meskipun itu hanya sekadar saran, aku merasa berat membantahnya kalau Ayah yang berbicara. Mungkin karena aku tahu bahwa semua larangannya adalah bentuk kasih sayang.

Ketika aku sudah melakukan persiapan dari jauh-jauh hari untuk ikut berkontribusi dalam kegiatan tersebut, namun menjelang hari-H aku malah dilarang pergi. Rasanya patah hati terasa begitu produktif.

Aku butuh alasan kuat untuk kukatakan kepada teman-temanku. Alasan logis yang bisa mereka terima, tanpa membuat mereka bersikap kritis dan menanyakan banyak hal. Apa harus kukatakan terus terang kalau aku tidak bisa ikut karena takut naik kereta? Rasanya alasan itu terdengar konyol sekali.

But, I feel so lucky right now. Dua orang panitia—termasuk Tsani—tidak ikut pergi naik kereta pada hari jum'at dan memilih berangkat pagi-pagi dihari sabtu. Mereka akan naik mobil, jadi aku akan ikut mereka naik mobil untuk sampai ke JungleLand. Dengan begitu Ayah memberikan fatwa bahwa aku boleh ikut pergi.

Yang jadi masalah adalah orang yang akan membawa mobil dan memberikan tumpangan ternyata Athaya.

Ya, Athaya.

Tidak perlu diulang untuk membuatku kaget. Semalam aku sudah cukup syok mengetahui kabar tersebut. Bukankah dia sedang sibuk-sibuknya dengan semua pekerjaan yang masih seabrek itu? So, why did he suddenly join this event? And what kind of sickness does he has? Ingin sekali kubedah kepalanya untuk mengetahui apa isi pikirannya.

Kabar tentang Athaya yang ikut, baru kuketahui ketika aku membuka grup LINE yang dibuat untuk para ralawan. Tahu kan, username line itu akan otomatis ditambahkan ketika kita menyimpan nomor seseorang, dan kutemukan username Athaya diantara anggota grup LINE itu.

"Kita nggak kepagian nunggu jam segini?" tanyaku. Sejak pukul tujuh tadi, aku, Tsani dan Dita sudah menunggu di pinggir jalan dekat pintu masuk tol. Beberapa panitia yang memutuskan naik kereta sudah berangkat sejak kemarin sore dari stasiun Gondangdia. Mereka benar-benar bermalam disana.

"Ya daripada kesiangan, kan? Lagian nggak enak kita. Masa kita yang nebeng, dia yang nunggu. Mending kita yang nunggu ..." jawab Tsani. Aku mengangguk sambil kembali mengehela nafas.

"Kenapa kamu nggak ikut naik kereta sama yang lain, Dit?" tanyaku pada Dita. Tsani jelas tidak ikut naik kereta karena rumahnya berada di kawasan Bintaro, lumayan jauh dari stasiun Gondangdia. Meskipun dari Bintaro sebenarnya dia bisa naik kereta di stasiun Pondok Ranji atau Jurang Manggu untuk sampai ke Bogor, tapi dia bilang dia tidak berani berangkat sendirian.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang