Chapter 15

70.4K 8.8K 937
                                    

Give him a chance.

_____________

BREAKFAST tanpa kehadiran Ayah di meja makan adalah tanda hari senin di rumahku, as I said that before. Sarapan berdua dengan Bang Abil memang akan sangat membosankan, karena ini akan menjadi sesi mendengarkan ceramahnya. Tapi kadang juga menjadi timing yang tempat untuk berbicara dengan pria itu, tanpa ada Ayah.

Seminggu sudah berlalu tanpa ada progress yang baik. Aku hampir tidak bisa tidur setiap malam dan terus mencoba menghubungi Najwa berulang kali. Sampai ketika sarapan pagi bersama Bang Abil pagi ini, mata dan tanganku tidak bisa terlepas dari yang namanya handphone.

"Makan dulu, handphonenya nanti lagi," tegur Bang Abil ketika melihatku lebih fokus pada layar menyala itu. Aku mematikannya lalu menaruhnya di samping.

Kalau Najwa masih tidak mau meresponku, sepulang bekerja hari ini aku akan datang ke rumahnya lagi. Aku harus menyampaikan permintaan maaf padanya. Maaf memang tidak merubah apapun, tapi setidaknya membebaskan aku dan Najwa dari rasa sakit. I think that's all I have to do now.

"Najwa masih sulit dihubungi?" tanya Bang Abil disela-sela memasukan sendok ke mulutnya. Aku mengangguk menjawabnya.

"Ya udah sih lupain aja, kalau dia memang maunya begitu. Ribet amat," kata Bang Abil enteng.

"Nggak segampang itu, Bang ... Abang sih nggak pernah temenan selama itu," kataku.

"Cowok mah temenannya simpel. Mau gabung ya ayo, nggak mau ya udah. Hilang satu temen aja nggak jadi masalah. Yang penting itu kualitas Fir, bukan kuantitas."

"Kalau gara-gara hal ini aja, dia udah gak mau temenan sama kamu. Itu tandanya dia nggak berkualitas untuk dijadikan temen. Jodoh mah Allah yang ngatur kali," kata Bang Abil. Aku lupa makhluk di depanku ini lebih dominan mengandalkan logika.

"Kamu juga belum ngasih jawaban sama orang itu, kan?" tanya Bang Abil lagi. Aku menggeleng pelan.

"Jangan kelamaan, nggak baik gantung orang. Kalau mau ditolak, tolak dari sekarang. Kalau mau diterima, suruh datang kerumah," ceramahnya lagi. What did I say? Dia tipe-tipe kakak yang hobi banget nyeramahin adik, heran. Aku belum memberikan jawaban pada Kak Syam, karena aku masih ragu harus mengatakan apa. Terlebih hubunganku dengan Najwa masih seperti ini.

Perkataan Bang Abil yang terakhir benar-benar menganggu pikiranku. Sepanjang dia mengantarku, aku terus saja memikirkan itu. Haruskah aku menerima Kak Syam atau malah menolaknya? Bagaimana dengan Najwa? All those questions really make me dizzy.

"Woy ..." ucap Bang Abil.

"Apaan?" kataku.

"Turun! Ini udah nyampe. Ah elah, niat kerja nggak sih? Ngelamun mulu," omelnya. Aku baru tersadar kalau motor itu sudah berada tepat di depan building Nata Adyatama.

Keteledoranku minggu lalu bermula dari masalah luar yang kubawa ke dalam kantor. Jadi ketika turun tepat di depan Nata Adyatama aku harus langsung membagi pikiranku bersekat-sekat. Sampai ada sistem otomatis di dalam otakku dimana ketika aku berada di kantor, aku tidak boleh memikirkan masalah lain selain pekerjaan.

"Udah jangan banyak ngelamun. Abang jadi merasa bersalah ngomongin masalah tadi ke kamu. Santai aja kali. Kamu lagi di uji aja sama Allah. Kalau lagi ujian, siapa coba yang megang kunci jawabannya?" tanyanya ketika aku menyerahkan helm.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang