Bagian 23

65.1K 8.6K 1.7K
                                        

A secret between us.

────୨ৎ────

SAAT masih kecil, aku selalu merasa senang ketika Ayah pulang kerja membawa sesuatu. Entah itu hanya sebatang lollipop rainbow, atau bahkan plastik bubble wrap yang tidak terpakai dari tempat kerjanya. Well, itu memang bukan hal besar yang bisa dibawakan seorang ayah di luaran sana. Tapi itu sangat berarti bagiku, memecahkan bubble wrap sampai ketiduran terasa sangat menyenangkan dan mampu menghilangkan stres yang kualami.

Kebiasaan itu berdampak sampai aku tumbuh dewasa. Tanpa diminta, setiap pulang kerja aku selalu membelikan sesuatu untuk orang rumah. Setelah motorku keluar dari parkiran RS Abdi Waluyo tadi, aku berhenti di pertigaan antara Jalan Cemara dan Cokroaminoto ketika melihat tulisan Martabak Menteng. Siapa yang tidak tergoda dengan bau margarin leleh dan kacang itu?

Martabak is one of my father's favorite foods, after meatballs, chicken noodles, serta kerak telor dan nasi padang tentunya. Makanya aku langsung memarkirkan motor di depan tempat itu ketika melihat banner besar bertuliskan martabak. Tempat itu agak penuh, jadi aku harus sabar mengantre bersama bapak-bapak dengan jaket hijaunya.

Saat sedang menunggu pesanan martabakku dibuatkan, Bang Abil tiba-tiba menghubungiku lewat video call. Aku sudah pernah bilang, kalau Bang Abil tiba-tiba menghubungiku seperti itu. Kemungkinannya hanya ada dua. Pertama, ada masalah yang membuat dia marah karena ulahku. Kedua, dia akan menjadikanku seorang delivery order. Aku menggeser panel hijau itu sambil mengucapkan salam.

"Kamu udah pulang kerja belum sih?" tanyanya pertama setelah menjawab salam yang kuucapkan. Wajahnya terlihat berkeringat sekali. Handuk kecil yang tergantung di lehernya membuatku menebak bahwa dia baru saja selesai lari. Yang aneh dari Bang Abil adalah ketika orang lain lari saat weekend dan pagi-pagi, dia tidak memiliki batasan waktu seperti itu. Kadang pagi, kadang siang, kadang sore, kadang juga malam.

"Udah, kenapa? Mau pakai motornya, Bang?" tanyaku.

"Kamu lagi di mana sekarang? Kok itu rame banget di belakang?" tanyanya lagi. Aku memutar arah kamera handphone menjadi kamera belakang. Memperlihatkan tulisan besar Martabak Menteng.

"Lagi pesan martabak red velvet Nutella kacang kesukaan Ayah. Ngantre banget, banyak yang order online. Jangan bilang mau titip beli makanan ya, awas aja!" jawabku.

"Hehe ... tahu aja. Abang lagi pengen banget makan zuppa-zuppa, laper nih abis olahraga. Beliin ya? Uangnya Abang ganti kok. I know you are a good sister, beliin ya sekalian pulang? Please..." bujuknya, terdengar sangat manis dan halus sekali.

"No, I'm bad. I'm not a good sister. Ke kondangan aja sana kalau mau makan zuppa-zuppa. Aku nggak tahu yang jualan zuppa soup di Menteng ada di mana. Ini juga beli martabak nggak sengaja lewat aja," kataku menolak permintaannya.

"Ya elah, ini udah generasi milenial era industri 4.0 mau ke 4.1. Cari aja di maps sekitaran situ apa susahnya? Yang deket pasti ada kok," kata Bang Abil lagi. Dia sampai bawa-bawa generasi milenial hanya karena ingin makan zuppa-zuppa.

"Kalau mahal gimana?" tanyaku. Bukannya hitungan pada kakak sendiri, tapi dia memang sering membeli makanan yang akhirnya tidak dia makan. He buys just because he wants to try.

"Abang ganti. Abang baru dapat uang tip dari dosen Abang, karena gantiin mata kuliah Hubungan Industrial di kelasnya. Kali aja kan, Abang dijadiin asisten dosen, atau malah diminta jadi dosen pas udah lulus," katanya.

"Ya udah, tapi nggak janji ya. Kalau ada yang deket sekitaran sini aja," jawabku.

"Asik... makasih banget adikku tersayang, tercantik, termanis, tercinta. You know how much I love you. See you at home, Baby." Aku langsung memutus panggilan itu ketika mendengar Bang Abil mulai berbicara over. Bukannya senang, mendengar Bang Abil berbicara seperti itu, aku malah merasa itu terdengar menjijikkan.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang