Chapter 1

226K 14.3K 1K
                                    

In admiring someone.

____________

MATAKU berkeliling, menjelajah setiap penjuru kafe untuk menemukan sosok-sosok yang sering ditegur pemiliknya karena terlalu berisik. Biasanya sosok tersebut lebih dari tiga orang. Namun kali ini aku hanya menemukan salah satu di antara mereka, di kursi pojok dekat jendela.

Cukuplah bagiku Allah. Cukuplah bagiku Allah. Cukup, cukuplah bagiku Allah.

Kalimat itu terus kugumamkan berulang-ulang, berharap darahku tidak berdesir terlalu cepat. Aku malah terpaku di depan pintu masuk Workroom Coffee, sementara tanganku sibuk memegangi dada bagian kiri yang entah sejak kapan mulai bekerja abnormal.

Pria pucat dengan kaus dark grey itu tengah duduk sambil memandangi layar handphonenya. Sebuah kacamata dengan frame hitam juga terlihat bertengger di hidungnya. He's a man who always looks charming anywhere, although seen from this distance. Tapi kenapa harus si hidung tujuh senti itu yang kutemui lebih dulu?

Sejenak aku berpikir untuk berbalik arah dan menunggu di tempat lain yang tidak terlihat olehnya, setidaknya sampai teman-temanku yang lain datang. Namun pada akhirnya langkahku tetap membawaku ke tempat di mana pria itu duduk.

See? Betapa munafiknya kelenjar terbesar dalam tubuh manusia yang sering disebut hati itu. Kubilang cukup, tapi aku malah tetap masuk kedalam kafe hanya untuk bertemu lebih dulu dengan pria yang tampannya sebelas-duabelas dengan hafidz Palestina, Baraa Masoud itu.

"Assalamu'alaikum," sapaku pelan sekali ketika kedua kaki ini sudah berada di depannya.

Mungkin sekarang wajahku sudah memerah hebat sampai ubun-ubun saking malunya. Rasa gugup itu semakin bertambah tak kala pria itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum ke arahku. Satu hal yang akan membuatku tidak bisa tidur nanti malam.

"Yang lain kemana, Kak? Belum pada dateng ya?" tanyaku basa-basi. Aku merutuki diri sendiri setelah melemparkan pertanyaan tidak berkualitas itu. Bodoh Shafira! Jelas-jelas dia tengah duduk sendirian.

Akui saja kalau sebenarnya canggung itu muncul ketika kita menyimpan rasa terhadap seseorang. Begitu pun aku, rasanya tanpa pengeras suara pun detak jantungku terdengar hingga keluar.

Namanya Rafif Abrisyam. Bohong kalau kukatakan aku tidak pernah menyukai laki-laki. Anak sholeh yang teramat tampan itu telah mendapatkan hatiku, meski selama satu tahun ini aku tidak tahu hatinya milik siapa?

It's easy to guess. A one-sided love story. Kisah klasik yang cukup membosankan sebenarnya. Perempuan yang menyimpan perasaanya sendirian secara sepihak, tanpa pernah punya niatan atau keberanian untuk mengungkapkannya.

Jika ada yang bertanya padaku adakah pria yang kusukai? Of course I'll answer no. Mati-matian akan kukatakan aku tidak sedang menyukai siapapun. Lalu hati kecil ini bergumam, 'sebenarnya ada' dialah orangnya.

Pria itu mematikan handphonenya setelah menjawab salamku lebih dulu. Dia menggeser kursi di sampingnya mempersilahkanku untuk duduk. Lihatlah caranya memperlakukan perempuan. Tingkah lakunya membuatku semakin berdebar meski bukan aku saja yang diperlakukan seperti itu. Dia memang baik—pada semua orang.

"Belum pada dateng, kamu tahu anak-anak kayak gimana. Kalau kita janjian jam satu, itu artinya mereka baru berangkat jam satu juga," jelasnya. Teman-temanku yang lain memang tidak pernah on time ketika membuat janji.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang