Chapter 19

76.3K 8.9K 1.9K
                                    

Wishful thinking.

____________

ONLY this time, satu minggu tanpa Athaya dengan penuh ketenangan. Pria itu masih sibuk di Osaka, as well as go on vacation. Kapan lagi kan bisa bekerja sekaligus jalan-jalan? Biasanya tanpa kehadiran pria itu, pekerjaanku akan sangat hectic. Ditambah pressure dari bagian lain yang seolah memanfaatkan keadaan karena Athaya sedang tidak ada.

Kadang manager lain memintaku mengerjakan sesuatu yang sebenarnya bukan bagianku. Karena mereka menamainya dengan 'minta tolong', aku jadi tidak bisa menolak permintaanya. Tapi kali ini terasa berbeda, atau mungkin sebenarnya pekerjaanya banyak. Hanya saja aku melakukannya dengan mood yang sangat baik dan semangat kerja yang sangat tinggi. You must know what makes me so happy. A guest who will come this Saturday.

Jadi, hari sabtu ini aku memang libur. Tanpa over time dan tanpa pekerjaan apapun yang harus kubawa ke rumah. Semuanya sudah kuselesaikan kemarin, seolah atmosfernya benar-benar sangat mendukung. Sejak pagi tadi, aku dan Bang Abil membereskan seluruh rumah.

Aku tidak tahu apa isi pikirannya, tapi dia benar-benar membereskan semua penjuru rumah tanpa terlewat sedikit pun. Padahal logikanya kalau ada tamu tidak mungkin sampai ke kamar, kan? Paling hanya ruang depan dan ruang makan saja yang dipakai.

"Bang, sebenernya Abang sama temen-temen Abang. Kalau mendaki gunung, ngecamp dua hari dua malam gitu, atau futsal berjam-jam, itu capek nggak sih?" tanyaku.

"Ya nggak lah," jawab Bang Abil.

"Terus kenapa baru ngepel ruang depan aja udah ngeluh capek?" Demoku sambil mengepel lantai di depannya. Dia sedang rebahan di sofa tengah, memerintahku untuk menyelesaikan sisanya sambil memainkan handphone, like a boss.

"Ya kan nggak hobi," jawabnya dengan wajah datar tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ingin rasanya lap pel itu kutempelkan saja ke wajahnya yang masih bisa fokus menatap layar handphone.

"Udah kerjain aja ... ini buat kebaikan kamu juga. Abang kan udah lap semua kaca, belum ngeberesin halaman depan. Sampai plafon rumah Abang bersihin. Abang juga udah nyapu lantai. Kamu tinggal ngepel sama lap-lap lemari doang," sambungnya enteng.

"Yeee! Nyapu juga nggak guna kalau harus aku sapu ulang," gerutuku karena hasil pekerjaanya tidak memuaskan. Beberapa saat setelah aku menjawab itu, terdengar suara bel rumah ditekan. Aku langsung menyuruh Bang Abil membukakan pintu karena aku sedang menggunakan baju rumah, without wearing hijab of course.

Setelah mendengar sang tamu mengucapkan salam, aku mendapati Bang Abil yang langsung berlari ke dalam dan masuk ke kamarnya. Pria itu bahkan tak mengatakan sepatah kata pun pada orang yang menekan bel, membuatku ikut bingung melihat tingkahnya.

"Ada apa sih, Bang?" Teriakku. Dia seperti baru melihat sosok lain selain manusia. Tapi Bang Abil tidak menjawab atau merespon pertanyaanku sama sekali. Spontan aku mengintip sedikit ke ruang tamu.

"Eh, Wa'alaikumussalam. Kak Hasna? Kok udah dateng lagi? Kan janjiannya habis ashar, masuk Kak ... maaf ya aku pake baju pendek, lagi beres-beres," kataku sembari memberi isyarat untuk menutup kembali pintunya. Perempuan itu hanya tersenyum mengangguk lalu masuk dengan wajah kaku.

Pantas saja kakakku langsung lari maraton ke kamarnya. Dia muncul di depan tunangannya, hanya menggunakan kaos hitam dan celana training pendek di atas lutut yang sering dia pakai untuk futsal, dalam keadaan belum mandi lagi. Serasa membongkar aib sendiri pasti. Aku bisa membayangkan betapa merahnya wajah Bang Abil sekarang karena malu.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang