An old wound.
────୨ৎ────
Light will give you some energy to do something right, beside your heart, find your own light, and make them bright.
-Abil Julmi Arrafi, twenty-three minutes ago.
AKU tidak tahu apa motivasi Bang Abil memposting kata-kata itu di story-nya dengan latar tiang listrik dan lampu jalan yang menyala. Apa faedahnya coba? Tepat setelah aku melihat story-nya tersebut, nama orang bersangkutan malah langsung muncul di layar handphone-ku. Parahnya, dia menghubungiku lewat video call.
Spontan aku langsung menggunakan earphone dan menurunkan pengaturan brightness handphone-ku ke yang paling gelap. Agar orang-orang di mobil tidak ikut melihat dan menyimak pembicaraanku dengan Bang Abil. Masalahnya, pria itu suka langsung mengomel kalau sudah menghubungiku lewat video call seperti ini.
"Shaf, kamu udah nyampe mana sih?! Lama banget. Abang pegel nih!" Nah kan, tebakanku benar. Dia langsung mengomeliku tepat setelah mengucapkan salam.
"Iya, bentar, Bang. Ini bentar lagi nyampe kok. Udah mau keluar tol," jawabku. Saat itu mobil yang kami tumpangi memang akan keluar tol, tapi saking panjangnya antrean, pintu keluarnya saja belum terlihat.
Kukira jalan tol akan kosong kalau pulang semalam ini, apalagi hanya dari Bogor-Jakarta. Tapi ternyata truk-truk besar yang membawa muatan barang malah banyak keluar pada malam hari menghindari kemacetan proyek pembangunan jalan kereta cepat itu.
Jadi di sinilah aku sekarang. Di pintu keluar Tol Cililitan 2 menunggu untuk keluar bersama mobil-mobil yang lain sejak satu jam yang lalu. Kurang hectic apa coba perjalanan pulang kali ini? Biasanya kurang dari satu jam saja bisa sampai. Ini hampir dua jam lamanya, kami masih belum keluar juga dari pintu tol dan antreannya masih sangat panjang. Pegalnya sudah seperti setengah perjalanan ke Bandung.
"Subhanallah... Dari tadi masih belum keluar jalan tol juga? Katanya udah deket, gimana sih?! Kamu share loc ke Abang lokasinya, biar Abang bisa kontrol dari sini. Jangan matiin data ya!"
"Iya, Bang Abil Julmi Arrafi, putra Bapak Adam Hamid... nanti aku kabari kalo udah nyampe, jangan banyak protes!" gerutuku sepelan mungkin.
Salahku sendiri menyuruh Bang Abil untuk menjemputku setengah jam yang lalu. Siapa sangka kalau macet di pintu keluar tol saja bisa sampai selama ini. Bang Abil sudah stand by sejak tadi di tempat kami janjian.
Athaya mengamatiku dari spion depan ketika melihatku berbisik sambil menatap layar handphone. Begitu pun dengan Najwa yang duduk di kursi belakang. Saking khawatirnya padaku, anak itu memilih ikut pulang naik mobil bertukar tempat dengan Tsani. Jadi di mobil ini ada Najwa, Dita, dan aku yang masih harus duduk di depan. Tak lama, Bang Abil malah memutus panggilannya dan suasana kembali hening karena kami semua benar-benar kelelahan.
"Siapa, Shaf?" tanya Najwa. Ingin sekali kujawab "satpam rumah," tetapi melihat raut wajahku saja, Najwa sudah langsung tahu jawabannya.
"Kak, kalau capek nyetir bilang aja. Biar nanti gantian sama aku nyetirnya," kata Najwa pada Athaya ketika melihat pria itu beberapa kali memijat lehernya sendiri. Siapa yang tidak pegal berulang kali memindahkan persneling dan menginjak rem.
"No prob, santai aja," jawab Athaya menolak. Mana mau dia disopiri oleh perempuan. Seorang Athaya itu gengsinya tinggi sekali.
Beberapa saat kemudian, karena tidak kunjung ada kemajuan, Najwa menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan mencoba untuk terlelap. Sementara Dita, sejak awal macet tadi, dia sudah memutuskan untuk tidur. Athaya terlihat mengecek handphone-nya sesekali, dan aku? Aku hanya menghela napas panjang berkali-kali sambil berdoa supaya sedan hitam di depan segera bergerak.
![](https://img.wattpad.com/cover/128850276-288-k607051.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAF ✔
Romance(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) "Satu shaf shalat dibelakangnya adalah mimpi buruk." Kalimat itu sudah cukup bagi Shafira untuk menggambarkan bagaimana kehidupannnya setelah bertemu dengan seorang Athaya Khalil Adnan. [Spiritual-⚠Romance Act] ...