Chapter 16

92.6K 8.8K 1.3K
                                    

Opportunity.

____________

SETIAP kali pulang bekerja di hari jum'at, selalu menjadi hari kebebasan untukku. arena besoknya adalah week end dan aku bisa bebas sejenak dari penatnya urusan kantor. Baru saja selesai memarkirkan motor di halaman depan. Ketika kakiku baru satu langkah menginjak teras rumah. Bang Abil keluar dengan penampilannya yang tak biasa.

Dia menggunakan celana levis berwarna navynya, dipadukan dengan kaos hitam dan hoddienya yang juga berwarna hitam. Dia juga menenteng helm off roadnya. Setiap kali melihat laki-laki menggunakan baju hitam, aku selalu merasa kadar keren mereka bertambah beberapa persen. I don't want to say he's handsome, nanti kepalanya makin membesar.

"Temenin Abang," katanya memutar balik arah tubuhku lalu mendorongnya untuk berjalan menuju motorku lagi. Dia wangi sekali, terlihat jelas baru selesai mandi.

"Temenin kemana? Aku baru pulang banget, Bang!" tanyaku sambil sedikit menggerutu.

"Udah, temenin aja!" Dia terus saja menyeretku sampai motor, lalu menyuruhku untuk menyerahkan kuncinya.

"Abang mau pergi kemana sih? Aku baru pulang banget ini, mau mandi, laper juga," demoku ketika dia sudah menyalakan motor itu dan menyuruhku untuk naik.

"Naik dulu aja, nggak akan lama kok, ada urusan mendesak," katanya. Mendengar dia mengatakan kata 'mendesak' akhirnya aku pasrah dan ikut naik lagi ke motor itu.

Sejak motor itu melaju di jalan raya, aku menebak-menebak kemana Bang Abil mengajakku pergi. Aku merutuki diriku sendiri dan berulangkali mengomel pada Bang Abil di dalam hati, ketika motor itu terparkir di sebuah basemant gedung. Harusnya tadi aku langsung lari dan masuk ke dalam rumah saja tadi.

Masalahnya ini adalah Mall Grand Indonesia. Biasanya dia mengajakku ke Mall ini untuk menonton film karena di lantai delapannya ada bioskop. Keterlaluan! Penipu ulung itu membohongiku.

Urusan mendesak apa yang ada di Mall ini selain menjadikanku sebagai orang ketiga pengganti setan. Mall ini lokasinya berada dekat dengan rumah tunangannya, dengan kata lain dia pasti memintaku untuk menemaninya menonton bersama tunangannya. Darn it! Menyebalkan!

"Udah jangan cemberut ... nanti Abang traktir makan di dalam. Kasian Hasna udah nungguin dari jam empat tadi, tapi Abang baru bisa pergi setelah nunggu kamu pulang," katanya ketika aku melepaskan helmku.

"Don't ask me to talk!" kataku kesal.

"Bentaran doang. Hehehe," katanya. Ingin sekali helm ini kulemparkan saja ke wajahnya yang masih bisa tersenyum konyol itu. Bang Abil memastikan motor kami terparkir dengan benar dan menyimpan tanda parkirnya ke dalam saku celana, setelah itu dia mengajakku untuk mencari lift.

Kami keluar di lantai delapan lalu berjalan ke arah tempat pemesanan tiket. Bang Abil mengelilingkan pandangannya mencari sosok perempuan yang berhasil membuat otaknya koslet akhir-akhir ini. Setelah dia menemukannya dia menyuruhku untuk memanggilnya.

"Tuh ... Hasna di sana," tunjuknya pada sebuah kursi tunggu yang cukup jauh dari tempat kami berdiri.

"Panggil aja sendiri, kan Abang yang mau ketemu!" tolakku.

"Elah ... masih aja ngambek, bentaran doang juga," bujuknya.

"Kenapa nggak Abang aja yang nikah duluan sih? Calon udah ada. Biar kalo mau jalan-jalan berdua nggak harus mengorbankan aku. Diskriminasi ini namanya," cerocosku sambil berjalan ke arah perempuan itu duduk. Aku menolak, tapi aku malah menghampirinya.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang