Chapter 14

76.5K 8.7K 894
                                    

Repair the broken ones.

____________

BERBAHAGIALAH bagi orang-orang yang dalam hidupnya, keluarga selalu menjadi suport system paling utama dalam hal apapun. Orang yang tidak akan meninggalkan kita, ketika kita merasa berada dititik terendah. We know ... not everyone has a family like that.

Dan aku sangat bersyukur ketika aku memiliki keluarga yang seperti itu, meski kadang aku iri melihat mereka-mereka yang masih memiliki ibu. Hidup memang begitu, kan? Kadang apa yang kita inginkan adalah apa yang orang lain punya, dan apa yang kita punya adalah apa yang orang lain inginkan.

Setelah puas menangis tanpa suara di resto, sambil beberapa kali dilirik mbak-mbak waitress dan pengunjung yang lain, aku kembali ke kantor untuk menunaikan shalat dzuhur. Whether it's selfish or not, but when I have a problem, the first thing I think is prayer.

Berdoa dan meminta solusi hanya ketika memiliki masalah berat saja, membuatku merasa menjadi hamba yang tidak tahu diri. Outrageous isn't it? Tapi bukankah lebih baik mengingat Allah ketika memiliki masalah saja daripada tidak ingat sama sekali?

Aku menelepon Ayah setelah shalat dzuhur itu. Aku sama sekali tidak berniat menceritakan kalau aku sedang memiliki masalah yang membuatku tertekan. Namun yang namanya orang tua sepertinya memang diciptakan untuk lebih perasa. Sekuat apapun kusembunyikan masalah itu, pada akhirnya Ayah tetap menyadarinya juga.

"Udah shalat dzuhur, Fir? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Ayah, setelah kami membicarakan hal-hal sederhana seputar pekerjaanya.

"Udah, Yah. Baru selesai. Cuma masalah kantor. Aku agak down aja karena aku yang bikin masalahnya," jawabku. Aku selalu full consideration ketika ingin menceritakan masalahku pada orang lain. Aku selalu berpikir bahwa beban mereka sudah terlalu banyak, menceritakan masalah yang sedang kuhadapi malah akan menambah bebannya.

"Kamu tahu kenapa Bumi diciptakan?" tanya Ayah tiba-tiba disela-sela aku menahan diri untuk tidak menangis lagi. Terlitas dipikiranku mungkin jawabannya untuk menghukum Adam karena telah melakukan kesalahan.

"Bukan untuk menghukum, tapi untuk menguji Adam dan Hawa atas keseriusannya bertaubat ..." Jawab Ayah seolah tahu jawaban apa yang ada di pikiranku.

"Jadi wajar kalau hidup di Bumi ini penuh dengan ujian yang kadang membuat kita ngerasa capek, sedih, tertekan dan berulang kali ingin menyerah."

"Manusia melakukan kesalahan, itu juga hal yang wajar."

"Bedanya, ketika manusia melakukan kesalahan, kita harus meminta maaf dan berusaha untuk memperbaikinya. Sama kayak Adam. Bukan malah lari dari tanggung jawab sambil berharap semuanya selesai. Nggak akan bisa begitu. Karena masalah itu muncul untuk diselesaikan. Bukan untuk dikeluhkan."

"Apalagi di-update kan. Iya kan?" tanya Ayah, membuatku tersenyum tipis tanpa dia ketahui.

"Istirahat sebentar, tenangin diri dulu sebentar, terus bangkit lagi. Ayo semangat! Jangan cemberut di kantor. Wajah jelek kamu kalo cemberut bikin makin tertekan, jeleknya kelihatan sampe sini loh," lanjutnya.

"Katanya anaknya paling cantik seantero komplek, sekarang malah dibilang jelek. Gimana sih, Yah ... Nggak konsisten banget," jawabku membuat Ayah hanya tertawa ketika mendengarnya.

"Ayah harus lanjut kerja lagi nih. Masih banyak paket yang  harus dianter. Ayah tutup ya, sampai ketemu di rumah nanti malem." Ayah memutus sambungannya setelah kami saling bertukar salam.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang