Jiwa menutup komik yang baru saja ia baca dengan kasar. Beberapa detik kemudian gadis itu menghela napas.
Melirik pada ponsel diatas tempat tidur tanpa minat.Ini sudah hari keempat semenjak Miko pergi meninggalkan mereka semua. Teman-teman Jiwa yang lain seolah memberi Jiwa ruang untuk menyendiri, terlihat dari beberapa hari kebelakang mereka tidak pernah mengganggu Jiwa. Namun walaupun begitu, mereka tetap saja memberi dukungan serta meminta Jiwa untuk ikhlas atas kepergian Miko.
Jiwa memang sudah ikhlas. Hanya saja Jiwa butuh seseorang yang bisa ia ajak untuk berbagi cerita.
Maunya Jiwa orang itu adalah Rio. Tapi entah kenapa laki-laki itu sekarang malah hilang seperti ditelan bumi. Hal itu malah semakin membuat Jiwa semakin uring-uringan. Jiwa juga tidak bisa mengganggu Oji seperti biasanya dikarekan cowok itu sedang ikut lomba olimpiade dari beberapa hari yang lalu.
Ya, Oji memang Siswa yang pintar. Namun, semua kepintaran itu tertutupi oleh masalah-masalah yang sering ia timbulkan disekolah. Seperti berkelahi misalnya.
Jiwa berjalan menuju balkon kamarnya. Tidak ada yang spesial. Balkon kamar Jiwa langsung menghadap kejalan dan rumah tetangga diseberang jalan.
Paling sesekali Jiwa akan duduk diayunan yang ada dibalkon sembari melihat beberapa anak-anak komplek yang sedang bermain sepeda disore hari. Itupun sangat jarang Jiwa lakukan mengingatkan ia akan lebih senang bertamu kerumah Oji jika ia sedang bosan.
Sekarang Jiwa hanya sendiri dirumah. Bi ijah sudah pulang sekitar 25 menit yang lalu. Mamanya juga pasti pulang malam lagi. Sedangkan sang papa belum juga pulang semenjak 2 minggu yang lalu.
Jiwa kembali duduk diayunan yang ada dibalkon kamar. Dengan perlahan, kaki Jiwa mulai menggerakkan ayunan itu menggunakan kakinya.
Tanpa ia sadari seseorang sudah berdiri dipintu masuk balkon sembari menatapnya diam-diam.
"Wa."
Kaget.
Jiwa kontan menoleh. Mendapati seorang pria paruh baya yang begitu ia rindukan.Dengan semangat gadis itu langsung bangkit dan memeluk tubuh pria didepannya ini.
"Papa. Wawa kangen." Jiwa tiba-tiba saja menangis tanpa sadar.
"Hei. Kok anak gadis papa nangis. Jangan nangis dong. Cengeng banget."
Bukannya marah. Jiwa malah terkekeh. Andra dengan sigap mengusap air mata sang anak gadis.
"Wawa kangen banget tau. Papa kok nggak pulang-pulang sih? Katanya mau marahin temen yang udah nonjok Wawa. Nyatanya malah nggak pulang-pulang kayak bang Toyib."
Jiwa kembali teringat dengan janji sang mama yang akan mengurus seseorang yang telah melakukan kekerasan terhadap Jiwa. Nyatanya wanita itu malah tidak melakukan apapun.
Jiwa juga yakin, mamanya tidak sedrama itu. Ia hanya menggertak saja. Lebam diwajah Jiwa saat itu juga tidak parah-parah banget. Jadi Riska tidak akan bersikap berlebihan.
"Iya. Nanti pasti papa urus orang yang udah nyakitin puteri Papa. Tapi sekarang Wawa nya udah sembuh kan? Nggak luka-luka lagi?"
"Emang nggak luka kok. Kemaren itu cuma lebam dikit doang. Dianya juga nggak sengaja. Wawa juga udah nggak kenapa-kenapa. Jadi papa nggak usah khawatir."
"Good. Papa seneng karena sekarang anak papa udah dewasa. Udah bisa ngatasin masalah sendiri tanpa harus ngelibatin orang tua.".
Jiwa mengangguk menyetujui.
"Tapi sekarang hati Wawa yang terluka."
Andra mengernyit?
"Kenapa papa nggak pulang pas Wawa lagi sedih karena kehilangan sahabat Wawa untuk selama-lamanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa & Raga
Teen FictionYUK FOLLOW DULU SEBELUM BACA!!! ***** Raga itu ganteng, cuek, dingin, kaku, kasar, tapi kadang perhatian. Jiwa itu ceria, cantik, baik, pengertian, dan suka menolong. Rio itu tampan, penyayang, perhatian, sayang banget sama Jiwa, juga selalu pedul...