9. Sisi Lain

301 11 2
                                    

WARNING!!!
Part ini sudah di tulis sejak lama. Dan tanpa di periksa kembali.
Jadi mohon di maklumi apabila ada kesalahan dalam penulisan juga typo yang bertebaran.

*****

Raga menghempas tas nya diatas ranjang.
Menghela nafas, mata laki-laki itu memandangi setiap sudut diruangan kamarnya itu.

Sepi. Itu yang kini Raga rasakan.
Rumah yang dulu nya penuh dengan canda dan tawa sang pemilik. Kini sepi bagaikan tak berpenghuni.

Mata Raga berhenti pada poto wanita paruh baya yang ada di atas nakas.
Diambilnya poto itu, lalu di usapnya perlahan.

Mata Raga mengembun, 2 tahun sudah wanita itu menghilang. Benar-benar menghilang bagaikan ditelan bumi.
Raga sudah berusaha mencari wanita itu kemana-mana, tapi hasil nya nihil.

Wanita itu seperti memang bersembunyi tidak ingin mereka temukan. Lagi, Raga mengembuskan napas nya kasar sembari terkekeh kecil. Dia tidak ingin menangisi wanita itu lagi. Sudah cukup waktu itu Raga menangisi nya hingga berminggu-minggu.
Mencari kesana kemari seperti orang gila. Melakukan segala cara untuk menemukan nya. Dan Raga rasa semua nya sudah cukup. Jika memang mereka masih ditakdirkan untuk bersama maka tuhan pasti akan mempertemukan mereka kembali.

Deringan handphone yang ada disaku celana membuat Raga tersadar dari lamunannya.

Tertulis nama Raka sebagai sang pemanggil.

"Kenapa?" tanya Raga ketus.

Orang diseberang sana malah balas terkekeh, nampak sudah terbiasa dengan sikap Raga.

"Kenapa lagi Lo, PMS?" canda Raka.

"Ngapain Lo telpon gue?" Tak ingin menanggapi candaan sang sepupu, Raga kembali bertanya.

"Nina nanyain lo, dateng kek ke rumah sakit. Doi lagi main sama Dissa nih."

Raga mengacak rambut nya frustasi. Dia benar-benar lupa kalau hari ini dia belum ke rumah sakit untuk menjenguk Nina. Bisa-bisa nya dia melupakan hal penting seperti itu.

"Bilangin Nina, bentar lagi gue ke sana. Ini baru aja nyampe rumah."

"Yaudah, bawain makan ya Ga. Gue sama Dissa belum makan nih dari tadi. Kasian juga adek gue minta makan mulu."

"Ya beliin kek, pelit amat sama adek sendiri. Dissa kenapa-napa di amuk Tante Meri lo."

"Aelah Ga, gue capek. Abis ngampus langsung jemput dia pulang sekolah. Terus dia minta ke rumah sakit karena kangen sama Nina. Sekali-kali kek nolongin abang sepupu lo yang ganteng tiada tara ini."

"Basi. Gantengan juga gue,"  balas Raga judes.

"Eh, udah mulai bisa narsis lo broo. Nggak nyangka gue."

Raga mencibir. Setelah itu dia langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Tak peduli kalau di seberang sana Raka sedang mengumpatinya.

Ya, begini lah hidup Raga.
Jika tidak ada Nina dan keluarga nya yang lain. Entah akan seperti apa hidupnya ke depan.

*****
Raga memainkan kunci motornya sembari menuruni tangga, setelah membersihkan diri dan bersiap-siap. Sekarang Raga sudah akan berangkat ke rumah sakit. Sebelum ini Raga sempat meminta tolong kepara ART di rumahnya untuk memasakkan makanan untuk Raka dan Dissa.

"Mau kemana kamu, Raga?"
Suara bariton dari ruang keluarga yang Raga lewati langsung menyapanya.

Raga menoleh tanpa minat, sedikit heran juga sebenarnya kenapa pria paruh baya itu ada di rumah jam segini. Biasanya jam-jam seperti ini pria itu pasti sedang sibuk di kantor.

Jiwa & RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang